Dua wanita tadi lantas berdiri tegap di dekat pintu perbatasan. Bersebelahan dengan dua tentara wanita India. Bisa saling lihat kalau mau. Pintunya jeruji besi yang tembus pandang. Tapi mereka tidak mau saling melirik.
Penonton (tepatnya: suporter) di kedua sisi terus meneriakkan yel-yel.
Satu kompi kecil tentara Pakistan menyusul berbaris menuju pintu perbatasan. Juga dengan langkah yang dipercepat. Di sisi India juga begitu.
Para tentara ini seperti adu atraksi. Kadang ayunan langkahnya harus amat tinggi. Seperti lomba. Tentara Indiakah atau Pakistan yang ayunan kakinya lebih tinggi. Lebih tinggi dari kepala.
Pernah ada adegan tentara itu sampai terjatuh. Saat berusaha mengayunkan kaki lebih tinggi dari negara musuhnya.
Ketika beberapa tentara sudah saling berhadapan di balik pintu jeruji, pintu pun didorong. Perbatasan itu terbuka lebar.
Di saat inilah tentara kedua belah pihak adu apa saja. Tinggi-tinggian ayunan kaki. Adu sigap. Adu tegap. Adu menonjok awan. Adu kumis: mereka saling memilin kumis dengan atraktif. Seperti saling tantang: ini kumisku, mana kumismu.
Juga adu keindahan topi. Mereka saling menunjukkan gerak membetulkan topi. Seolah saling menantang: ini topiku, lebih indah dari topimu bukan?
Setiap gerak itu diikuti teriakan dukungan dari ribuan supporter. Mereka seperti mengesahkan: tentara kami yang lebih hebat.
Tapi tidak ada nada emosi yang ditunjukkan suporter. Suasananya seperti kebencian yang diselimuti kebanggaan dan kegembiraan.
Saya sangat terhibur oleh atraksi ini. Begitu juga sebarisan orang dari Hangzhou di belakang saya.
Yang hebat, atraksi ini tetap dilangsungkan pun di saat genting. Termasuk bulan lalu. Sewaktu di perbatasan lain India-Pakistan lagi saling serang.
Ketegangan ternyata bisa jadi hiburan. Apalagi teater di perbatasan ini gratis.
Saya pernah melontarkan istilah "nasionalisme sempit" VS "nasionalisme modern".
Yang ini adalah "nasionalisme atraktif". (Dahlan Iskan)