PENGUSAHA sawit dituding merugikan negara karena diduga belum membayar pajak yang nilainya mencapai Rp 300 triliun. Menanggapi itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono berharap bisa menghadap ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Agenda itu nantinya untuk menjelaskan berbagai potensi strategis, tantangan termasuk tudingan dugaan kebocoran keuangan di industri kepala sawit.
Menurut Eddy, industri sawit menjadi salah satu industri strategis bagi Indonesia. Industri ini mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini. “Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Prabowo, Red) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Eddy, Senin (14/10).
Baca Juga: Dua Rumah Diduga Sengaja Dibakar, Teror Pembakaran Rumah Resahkan Warga Palangka Raya
Eddy menjelaskan, isu kebocoran itu sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.
Ada pula pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif. Sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di pasal 110 A dan sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Hampir 90 persen lebih perusahaan sudah membayar,” ujar Eddy.
Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di pasal 110A. Terkait ketentuan yang ada pada pasal 110B, sampai saat ini anggota Gapki belum menerima surat pemberitahuan dan tagihan dari KLHK.
"Mungkin ini yang dianggap tidak tertib, padahal sebenarnya tidak seperti itu karena semua sudah masuk dalam pantauan Satgas Tata Kelola Sawit. Karena perusahaan apabila dianggap ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan harus lapor kalau tidak terkena sanksi,” kata Eddy.
Dia menambahkan luas lahan sawit yang masuk dalam katagori pasal 110A sekitar 700 ribu hektare. Sedangkan untuk yang masuk katagori pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK. Gapki juga belum mengetahui estimasinya, karena memang belum ada tagihan yang terkait dengan ketentuan Pasal 110B.
“Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda administrasinya akan memperjelas semuanya,” jelas Eddy.
Untuk diketahui, isu pengusaha sawit ngemplang pajak berhembus setelah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S. Djojohadikusumo mengatakan, ada dugaan kebocoran penerimaan negara mencapai Rp 300 triliun.
Kebocoran tersebut disebabkan ada pengusaha-pengusaha sawit yang membuka perkebunan sawit dan belum membayar pajak. Hal ini disampaikan Hashim pada acara Diskusi Ekonomi Kamar Dagang dan Industri bersama Pengusaha Internasional Senior di Menara Kadin, Senin (7/10). Menurut Hashim, pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan berupaya memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Salah satu potensi pajak yang akan dikejar pemerintah adalah pajak dari para pengusaha sawit tersebut.
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Radar Tarakan