PROKAL.CO - Industri asuransi syariah di Indonesia berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) menuntut pelaku industri untuk melakukan penyesuaian besar pada 2026. Di sisi lain, peluang pertumbuhan pasar asuransi syariah tetap terbuka lebar, mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mengungkapkan bahwa peluang pasar asuransi syariah di Indonesia masih sangat besar. Industri asuransi syariah di Indonesia masih memiliki ruang tumbuh di tengah kondisi ekonomi yang sedang lemah. Market share asuransi syariah yang masih kecil, justru menjadi indikator bahwa sektor industri ini punya ruang lebar untuk terus bertumbuh.
"Opportunity industri asuransi syariah masih memiliki banyak ruang untuk tumbuh walaupun tengah economy pressure," ujar Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Achmad Kusna Permana saat konferensi pers di Sharia Insurance Convention and Awards 2025, Jakarta beberapa waktu lalu.
Pasar Muslim yang Belum Tergarap Optimal
Dengan lebih dari 230 juta penduduk muslim, Indonesia memiliki basis konsumen potensial yang sangat besar. Kesadaran masyarakat terhadap produk keuangan berbasis halal terus meningkat, seiring bertambahnya literasi keuangan syariah dan pergeseran preferensi generasi muda muslim.
Produk asuransi umum syariah yang meliputi perlindungan kendaraan bermotor, kesehatan, properti, hingga asuransi mikro, sesungguhnya memiliki ruang pertumbuhan yang lebih luas dibandingkan pangsa pasar yang ada saat ini.
Namun, kontribusi asuransi umum syariah terhadap total industri asuransi nasional masih relatif kecil. Data dari Insurance Asia menunjukkan pangsa pasar takaful di Indonesia sempat turun dari 10,1 persen pada 2024 menjadi 8,4 persen di awal 2025. Meski demikian, tren ini tidak lantas menutup peluang, melainkan memperlihatkan ruang yang bisa diisi oleh inovasi dan penguatan kelembagaan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono menuturkan salah satu tantangan industri asuransi syariah di Indonesia adalah peningkatan literasi masyarakat yang harus terus diupayakan berbagai pihak.
“Ada beberapa aspek yang jadi perhatian terkait tantangan di industri asuransi syariah ke depan, salah satunya adalah peningkatan literasi,” tutur Ogi belum lama ini.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2025, mencatat indeks literasi keuangan syariah penduduk Indonesia sebesar 43,42 persen naik dari tahun sebelumnya yang berada di angka 39,11 persen. Meski naik, namun angka ini masih menunjukan gap signifikan dengan indeks literasi asuransi konvensional yang berada di angka 66,45 persen.
Regulasi sebagai Momentum Transformasi
OJK melalui POJK No. 11/2023 telah mengatur bahwa lebih dari 70 persen UUS harus melakukan spin-off paling lambat akhir 2026, sementara sisanya wajib mentransfer portofolio syariahnya ke entitas penuh. Aturan ini menimbulkan tantangan tersendiri, terutama bagi entitas dengan modal terbatas.
Namun, regulasi tersebut sesungguhnya dapat menjadi momentum untuk memperkuat fondasi industri. Spin-off dan konsolidasi mendorong entitas syariah memiliki struktur keuangan yang lebih sehat, tata kelola yang lebih baik, serta ruang yang lebih luas untuk berinovasi.
Sementara AASI berpandangan spin off unit usaha syariah merupakan langkah strategi yang baik. Menurutnya, aturan tersebut berdampak baik bagi perusahaan asuransi syariah, agen, hingga konsumen. "Langkah strategi dari OJK yang meminta perusahaan asuransi syariah untuk spin off itu penting untuk bisa meyakinkan customer,” ujar Achmad Kusna.