bisnis

Rupiah Terus Melemah, Dolar Sudah Tembus Rp16 Ribu

Indra Zakaria
Senin, 15 April 2024 | 17:51 WIB
Rupiah dan dolar.

Akhir pekan kemarin sampai dengan awal pekan ini, sejatinya nilai rupiah sudah anjlok terhadap dolar Amerika, dengan menembus Rp16.000 per dolar. Namun, karena perdagangan domestik saat ini libur Lebaran, maka data perdagangan masih menunjukkan level Rp 15.848 per dolar AS. 

Diprediksi, Selasa (16/4) dimana perdagangan domestik dibuka, nilai rupiah takkan jauh beda, dimana sudah menembus Rp16 ribu per dolarnya. Untuk diketahui, pelemahan mata uang rupiah di Google Finance dan NDF hingga menembus Rp 16.000 sejalan dengan mata uang Asia lainnya yang juga terpuruk sejak beberapa hari lalu. Mayoritas mata uang Asia terpuruk setelah data inflasi AS memanas.

Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti - di luar makanan dan energi -stagnan di angka 3,8%. Data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.

Baca Juga: Libur Lebaran, Okupansi Hotel di Kaltim Meningkat

Lonjakan inflasi AS dan masih panasnya data tenaga kerja AS ini menimbulkan kekhawatiran jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga lebih lama.

Perangkat CME FedWatch Tool menunjukkan pelaku pasar kini bertaruh 23,6% jika The Fed akan memangkas suku bunga pada Juni 2024. Angka ini turun drastis dibandingkan dua pekan lalu yang mencapai 70%an. "Devaluasi mata uang Asia terkait erat dengan kebijakan suku bunga di tingkat global," tutur Deniz Istikbal, ekonom Foundation for Political, Economic and Social Research (SETA), kepada Reuters.

Ekonom Citi Bank kepada The Star Malaysia menjelaskan pelemahan mata uang Asing karena pelaku pasar kini semakin merasa tidak pasti kapan The Fed akan memangkas suku bunga. "Posisi The Fed semakin sulit dan pelaku pasar kini bertanya-tanya kapan suku bunga dipangkas," tutur ekonom Citi dalam catatannya kepada The Star. 

Ekonom sekaligus Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro menilai, pelemahan rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh melesetnya spekulasi pasar terkait kebijakan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS, The Fed.

Menurutnya, pasar mengira bahwa The Fed akan segera menurunkan tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat, namun hingga saat ini The Fed masih belum memutuskan kebijakan tersebut. Bahkan rupiah telah melemah sebelum adanya serangan Iran ke Israel pada Sabtu malam (13/4) karena dolar AS terus menguat dibandingkan mata uang lain.

"Saya sendiri memprediksi The Fed tidak mungkin menurunkan suku bunga sampai tengah tahun ini karena tingkat inflasi AS masih di atas target. Intinya secara eksternal kita akan menghadapi tantangan serius. Ini bisa membuat rupiah tertekan," kata Bambang dalam diskusi "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI" yang diselenggarakan oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter secara virtual di Jakarta, Senin.

Bambang mengatakan, kondisi eksternal menjadi penyebab utama nilai tukar rupiah mengalami pelemahan. Sedangkan pascaserangan Iran ke Israel, Bambang memprediksi The Fed justru akan mempertahankan suku bunga acuan lebih lama lagi.

"Jadi intinya secara eksternal memang kita akan menghadapi tantangan yang serius, dan ini yang bisa membuat rupiah menjadi tertekan," katanya. Lebih lanjut, Bambang menilai Bank Indonesia (BI) saat ini harus bisa menahan agar fluktuasi nilai tukar dolar AS bisa lebih stabil.

Sebagai langkah antisipasi dampak suku bunga The Fed, BI diperkirakan akan tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah. Dia juga menambahkan bahwa keputusan untuk menaikkan suku bunga BI bukan merupakan langkah yang tepat mengingat kondisi dolar AS saat ini yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara lainnya. Ekonom sekaligus Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro menilai, pelemahan rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh melesetnya spekulasi pasar terkait kebijakan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS, The Fed.

Menurutnya, pasar mengira bahwa The Fed akan segera menurunkan tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat, namun hingga saat ini The Fed masih belum memutuskan kebijakan tersebut. Bahkan rupiah telah melemah sebelum adanya serangan Iran ke Israel pada Sabtu malam (13/4) karena dolar AS terus menguat dibandingkan mata uang lain.

"Saya sendiri memprediksi The Fed tidak mungkin menurunkan suku bunga sampai tengah tahun ini karena tingkat inflasi AS masih di atas target. Intinya secara eksternal kita akan menghadapi tantangan serius. Ini bisa membuat rupiah tertekan," kata Bambang dalam diskusi "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI" yang diselenggarakan oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter secara virtual di Jakarta, Senin.

Bambang mengatakan, kondisi eksternal menjadi penyebab utama nilai tukar rupiah mengalami pelemahan. Sedangkan pascaserangan Iran ke Israel, Bambang memprediksi The Fed justru akan mempertahankan suku bunga acuan lebih lama lagi. "Jadi intinya secara eksternal memang kita akan menghadapi tantangan yang serius, dan ini yang bisa membuat rupiah menjadi tertekan," katanya.

Lebih lanjut, Bambang menilai Bank Indonesia (BI) saat ini harus bisa menahan agar fluktuasi nilai tukar dolar AS bisa lebih stabil. Sebagai langkah antisipasi dampak suku bunga The Fed, BI diperkirakan akan tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah. Dia juga menambahkan bahwa keputusan untuk menaikkan suku bunga BI bukan merupakan langkah yang tepat mengingat kondisi dolar AS saat ini yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara lainnya.

Baca Juga: Di Balikpapan, Kunjungan ke Mal Naik 23 Persen

Sebagai informasi, saat ini kondisi global tengah berhadapan dengan ketegangan konflik antara Iran dengan Israel. Konflik terbaru antara Iran dan Israel dipicu oleh serangan terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah pada 1 April lalu.

Iran kemudian melancarkan serangan balasan dengan menembakkan puluhan rudal balistik dan ratusan pesawat nirawak (drone) ke Israel pada Sabtu malam (13/4).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto mengatakan, secara fundamental perekonomian Indonesia relatif masih cukup kuat.

Pertumbuhan ekonomi masih terjaga di atas 5 persen dengan inflasi yang terkendali. Sampai dengan Februari 2024, neraca perdagangan Indonesia juga masih mengalami surplus, dan menopang Cadangan Devisa yang pada posisi terakhir di Maret 2024 tercatat masih kuat.

“Pastinya pemerintah tidak tinggal diam, kita akan siapkan sejumlah kebijakan strategis untuk memastikan agar perekonomian nasional tidak terdampak lebih jauh. Tentunya tingkat kepercayaan pasar kepada kemampuan perekonomian nasional untuk merespons dampak eskalasi konflik mesti kita jaga,” tegas Menko Airlangga. (*)

Tags

Terkini

Harga TBS di Kaltim Kembali Turun

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:00 WIB