JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mematangkan rencana kebijakan redenominasi rupiah, yang akan menyederhanakan nilai mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Kebijakan penting ini ditargetkan rampung dalam dua tahun ke depan, yakni pada tahun 2027.
Mengingat waktu persiapan yang relatif singkat, perhatian utama kini tertuju pada strategi sosialisasi pemerintah kepada pasar dan masyarakat. Berbagai pihak menilai, jika sosialisasi tidak dilakukan secara maksimal dan terstruktur, implementasi redenominasi di lapangan berpotensi menimbulkan kekacauan.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menyarankan agar sosialisasi dan penyiapan pasar mengikuti prinsip dasar: bertahap, pasti, dan serentak.
Pardede, yang dihubungi JawaPos.com pada Selasa (11/11), menjabarkan lima langkah kunci yang harus diambil pemerintah. Yakni
Kuatkan Landasan Hukum dan Kelembagaan: Pemerintah harus memastikan kerangka hukum dan kelembagaan yang jelas sejak awal. Ini mencakup kewajiban, sanksi, serta peran yang spesifik bagi setiap kementerian/lembaga dan pelaku usaha.
Terapkan Peta Jalan yang Rinci: Diperlukan peta jalan terperinci yang mencakup masa persiapan, masa transisi dengan penerapan harga ganda (harga lama dan harga baru), dan masa penarikan uang bertanda lama secara bertahap. Peta jalan ini juga harus dilengkapi dengan kalender penerbitan uang baru.
Komunikasi Publik yang Konsisten dan Jelas: Komunikasi publik harus konsisten hingga ke pelosok daerah. Materi sosialisasi harus membedakan secara tegas antara redenominasi (penyederhanaan tanpa mengurangi nilai) dan sanering (pemotongan nilai). Sosialisasi juga wajib mencakup cara membaca padanan harga baru-lama, simulasi sederhana untuk rumah tangga dan UMKM, penyediaan kalkulator konversi, panduan kasir, materi literasi di sekolah, serta kanal pengaduan.
Pastikan Kesiapan Infrastruktur: Kesiapan infrastruktur menjadi krusial, meliputi penyesuaian sistem perbankan dan perusahaan, kalibrasi mesin kasir dan tiket, pembaruan perangkat lunak pembayaran digital, ketersediaan pecahan logam sen, serta rencana distribusi uang baru yang terpadu dengan perluasan pembayaran nontunai.
Perkuat Pengawasan Harga: Selama fase harga ganda, pemerintah daerah dan asosiasi ritel diminta memperkuat pengawasan harga, diikuti dengan publikasi berkala mengenai perkembangan transisi.
“Target rampung 2027 berarti tahapan tersebut perlu dijalankan disiplin dan komunikasinya dibuat sangat praktis di tingkat ritel,” jelas Josua Pardede.
Senada dengan Pardede, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, mengakui bahwa sosialisasi adalah kunci keberhasilan. “90 persen lebih transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meski pemanfaatan QRIS dan transaksi digital meningkat. Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya,” tukas Bhima. (*)