Menurutnya, Pemkab Kotim bisa saja mengambil kebijakan dengan memutuskan kontrak dengan alasan wanprestasi. Sebab, pekerjaan di lapangan tidak sesuai kontrak kerja, mengingat proyek itu dikerjakan sejak 2018, namun baru dikerjakan di pengujung 2019.
”Jadi biarkan saja mereka gugat secara perdata. Ketika ada putusan pengadilan menyatakan bayar, baru dianggarkan. Kalau tidak ada, ya tidak usah. DPRD pun saya kira akan lebih nyaman dan aman. Tidak waswas. Kalau sekarang pasti tidak nyaman karena tidak ada kepastian hukum. Apalagi katanya penganggarannya banyak masalah,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, potensi hukum dalam pengerjaan proyek pembangunan Pasar Expo Sampit bisa dihindari sejak awal. Syaratnya, semua proses penganggaran harus dilakukan dengan benar dan mengacu aturan. Termasuk pelaksanaannya yang wajib mengacu pada kontrak kerja.
Hal itu disampaikan Kepala Kejari Kotim Hartono melalui Kepala Seksi Intelijen Sunardi Efendi, Kamis (28/11). Sunardi menegaskan, masalah hukum bisa muncul apabila ada tahapan dan proses yang dilewati dalam mekanisme penganggaran. Apalagi bila adda kejanggalan dan menjadi polemik.
Sunardi menegaskan, Kejari Kotim belum bisa sepenuhnya menyatakan proyek yang kini jadi polemik di kalangan DPRD Kotim itu benar atau salah sepenuhnya. Apalagi pihaknya tak melakukan langkah hukum apa pun, seperti penyelidikan. ”Kami tidak tahu itu ada dugaan kesalahan atau tidak,” kata Sunardi.
Pembangunan Pasar Expo Sampit masuk dalam proyek tahun jamak Pemkab Kotim yang dianggarkan selama tiga tahun anggaran. Totalnya menyedot Rp 32 miliar sejak 2018. Tahun 2018 dianggarkan Rp 5 miliar, namun karena tidak ada pelaksanaan di lapangan, anggaran tersebut masuk sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Selanjutnya, pada 2019 dianggarkan lagi sekitar Rp 15 miliar. Namun, proyek itu baru dilelang sekitar September lalu. Alhasil, pekerjaan fisik saat ini masih di kisaran 10 persen yang dikerjakan kontraktor PT Heral Eranio Jaya asal Barito Selatan dengan anggaran Rp 31,8 miliar.
Anggota Komisi I DPRD Kotim Rimbun mengatakan, proyek itu sebelumnya sudah ditolak Komisi II DPRD Kotim periode 2014-2019. ”Tapi bisa bekerja dan ada anggarannya dari mana? Itu yang sulit saya pahami. Bagaimana bisa proses penganggarannya bisa terjadi,” ujarnya.
Rimbun menegaskan, apabila disebut sebagai proyek tahun jamak, proyek itu harusnya mulai dikerjakan tahun 2018 silam. ”Karena dalam kesepakatan multiyears itu dikerjakan dalam tiga tahun, bukan setahun anggaran," kata legislator yang kencang menentang RAPBD Kotim 2020 saat pembahasan ini. (ang/ign)