Suhu di Long Bulan juga tergolong ekstrem. Bisa turun mencapai 15 derajat Celcius. Tanahnya pun tandus. Tak pas untuk bercocok tanam. Bahkan sekadar menanam sayur- mayur.
Berjarak sehari jalan kaki membelah hutan dari Pos Long Bulan, ada Pos Latang. Komandan pos ini dipegang Sertu Eri Suprastiono. Misi mereka sama dengan pos-pos lain. Pun kendala yang dihadapi.
Patok terjauh yang harus dijaga bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehari penuh dari Pos Latang. “Kami mulai yang paling jauh, kemudian sisir mundur,” kata dia. Kemudian ada Pos Long Bena. Pos ini paling anyar. Dibangun pada 2014, dan baru ditempati empat tahun kemudian. “Pas kami datang, kondisi bangunan banyak yang rusak. Harus diperbaiki,” ujar Komandan Pos Long Bena Letda Inf Jojo Iswantoro.
Pria lulusan Akmil angkatan 2017 itu memimpin tim mengawasi 458 patok. Patroli dilakukan per dua minggu dengan lima personel. “Kendalanya sama dengan teman-teman di pos lain. Hanya, kami beruntung dekat sungai sebagai sumber air. Kami juga bercocok tanam, menanam sayur-mayur,” ujar Jojo.
Di Pos Long Bulan dan Pos Latang, prajurit tak bisa bercocok tanam. Sebab tanah yang tandus. Atau gambut dengan tingkat keasaman tinggi. “Karena enggak ada sinyal telekomunikasi, kami membunuh kebosanan dengan berolahraga,” ujar Jojo.
Tiga pos itu benar-benar terisolasi. Tak terhubung dengan kawasan permukiman. Akses ke mana-mana jauh. Bahkan tidak ada. “Kami berharap pos kami ini bisa dipakai terus menerus. Bangga karena kami tim pertama yang menempatinya,” tuntas Jojo.
Selain tiga pos udara itu, pos terisolasi lainnya yang sering dikelakari sebagai penjara tanpa jeruji, adalah Pos Kahat, Mepun, dan Long Kemuat. Namun, patriotisme yang tertanam dalam diri prajurit tak terkikis oleh segala kesulitan di tapal batas itu. “Kami happy-happy saja. Karena tugas itu adalah kebanggaan,” tutur Eri Suprastiono. Sitorus dan Jojo membenarkannya dengan teriakan lantang. (***/rom/k16)