Meskipun nilai modern mendominasi, tekanan sosial di masyarakat Asia, termasuk Indonesia, masih kuat. Norma tradisional yang menilai pernikahan sebagai penentu status sosial masih bertahan.
Bagi generasi Boomer, perempuan yang belum menikah di usia 25 tahun sering dianggap terlalu sibuk bekerja, terlalu mandiri, atau terlalu selektif. Stigma ini sering disampaikan dalam bentuk komentar ringan yang dapat menimbulkan tekanan psikologis bagi sebagian wanita.
Sosiolog kontemporer bahkan berpendapat bahwa narasi "telat menikah" merupakan bentuk kontrol sosial lama dalam kultur patriarki, yang kini ditantang oleh peran produktif perempuan di ruang publik.
Pada intinya, pernikahan bukanlah perlombaan. Tingkat kepuasan cenderung lebih tinggi pada pasangan yang menikah setelah usia 27 tahun karena kematangan berpikir dan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Menunda pernikahan bukanlah kegagalan, melainkan bentuk kedewasaan untuk memilih waktu terbaik demi membangun keluarga yang sehat dan bertanggung jawab. (*)
