• Senin, 22 Desember 2025

Tambang Ilegal di Dekat IKN Disikat, Tapi Masih Banyak Tambang Ilegal di Kaltim yang Belum Tersentuh

Photo Author
- Selasa, 22 Juli 2025 | 15:45 WIB
Ilustrasi tambang batubara
Ilustrasi tambang batubara

SAMARINDA- Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyoroti kegagalan sistem pengawasan sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Hal itu tergambar pada penambangan batu bara ilegal di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto yang berlangsung selama hampir satu dekade sejak 2016.

Meskipun pengungkapan oleh Bareskrim Polri patut diapresiasi, kasus ini menjadi bukti nyata celah besar dalam tata kelola minerba, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun—termasuk deplesi batu bara Rp 3,5 triliun dan kerusakan hutan Rp 2,2 triliun.

Baca Juga: IKN Batal Jadi Ibu Kota Negara? Usulan Tambahan Dana IKN Rp21 Triliun Disorot DPR

PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab dan segera melakukan reformasi perbaikan tata kelola pertambangan, khususnya di aspek pengawasan, guna mencegah praktik ilegal yang merusak lingkungan dan merugikan sumber daya negara.

Peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman menyebut, "Kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan indikasi kegagalan pengawasan sektor pertambangan minerba. Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa beroperasi begitu lama di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa deteksi dini? Kami mendesak diikuti dengan investigasi menyeluruh terhadap kemungkinan dugaan kuat keterlibatan pihak-pihak terkait, mulai dari penambang, penyedia jasa transportasi, agen pelayaran, perusahaan-perusahan pemilik berizin, operasional pelabuhan maupun pejabat terkait lainnya.”

Kasus ini terungkap melalui operasi Bareskrim Polri yang menyita 351 kontainer batu bara ilegal, alat berat, serta menangkap tiga tersangka dengan modus menggunakan dokumen palsu dari perusahaan seperti PT MMJ dan PT BMJ untuk menyelundupkan batu bara ke pelabuhan. Adapun modusnya disebutkan bahwa batu bara ilegal dikumpulkan terlebih dahulu di stock room atau gudang, kemudian dikemas menggunakan karung.

Selanjutnya, batu bara itu didistribusikan melalui jalur laut menggunakan kontainer dari Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Untuk mengelabui petugas, para pelaku memanfaatkan dokumen resmi dari perusahaan yang memiliki Izin Usaha Produksi (IUP) saat proses pengiriman di terminal Balikpapan. Dokumen tersebut digunakan agar batu bara tampak seolah-olah berasal dari penambangan legal.

Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kaltim — salah satu anggota koalisi PWYP Indonesia—menambahkan kritik tajam dari perspektif lokal. "Kami mengapresiasi Bareskrim Polri yang berhasil mengungkap peredaran batubara dari tambang ilegal di Kaltim, tetapi ini bukan satu-satunya kasus. Masih banyak peredaran batu bara dan aktivitas tambang ilegal lainnya di Kaltim yang belum tersentuh,” katanya.

Lanjut dia, bukan hanya tiga orang tersangka yang terlibat; harus diusut tuntas siapa pihak lain yang menerima dan menjadi penerima manfaat dari kejahatan ini. Menurut Buyung, pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bahwa pengawasan Kementerian ESDM hanya untuk tambang berizin adalah pernyataan tidak penting dan tidak perlu, sekaligus menunjukkan ketidakmampuan menteri untuk mitigasi agar kejadian serupa tidak terulang di daerah lain.

“Yang perlu dicatat, kasus ini juga melibatkan dokumen resmi dari perusahaan pemegang IUP sebagai salah satu syarat pengiriman. Dokumen tersebut digunakan seolah-olah batubara tersebut berasal dari penambangan resmi atau pemegang IUP, padahal sebenarnya berasal dari kegiatan illegal mining.” tegasnya. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

X