Oleh Dahlan Iskan
Saya termasuk yang bersemangat sekali. Untuk ke Singkawang Minggu lalu. Terutama karena ini: ada peletakan batu pertama pembangunan bandara Singkawang.
Banyuwangi selalu saya jadikan model. Kepala daerah yang berjuang keras membangun bandara. Dengan hasil yang nyata. Bagi kemajuan daerahnya.
Bertemu siapa pun (dari Kalbar utara) saya selalu titip itu: perlunya ada di bandara di sana. Pun ketika Bupati Sambas Atbah Romin Suhaili ke rumah saya. Yang hafal Al Quran itu. Saya yakinkan perlunya Sambas membangun bandara. Saya sarankan bekerja sama dengan walikota Singkawang. Satu bandara untuk Sambas dan Singkawang. Kabupaten lain ikut dapat manfaatnya.
Ternyata Walikota Singkawang Tjhai Chui Mie yang start duluan. Meski baru setahun menjabat walikota. Yang pertama di Indonesia: wanita Tionghoa.
Berarti bupati Sambas tidak perlu lagi memikirkan bandara. Ikut Singkawang saja.
Saya berada dalam satu pesawat dengan Tjhai Chui Mie hari itu. Bersama tokoh-tokoh Budha Tzu Chi dari Jakarta. Yang akan membangun sekolah megah di Singkawang.
Kami sama-sama menunggu di bandara Cengkareng, Jakarta. Lama. Berjam-jam. Saya bisa ngobrol panjang dengan Tjhai Chui Mie. Sesekali Chui Mie menerima tilpon. Dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Termasuk info yang paling kami tunggu: apakah bandara Pontianak sudah bisa didarati. Setelah terhalang pesawat Lion. Yang terperosok ke rumput di ujung landasan.
"Sebenarnya dalam visi misi saya tidak memprioritaskan bandara," ujar Tjhai Chui Mie. "Saya takut tidak bisa merealisasikan," tambahnya.
Dia tahu. Sudah tiga walikota menjanjikan bandara. Tidak ada yang bisa.
Chui Mie merasa beruntung. Punya waktu yang cukup untuk membuat perencanaan. Dia sudah resmi terpilih. Tapi pelantikannya baru 9 bulan kemudian. Pilkada serentak adalah penyebabnya.