advertorial

Kapal Api

Selasa, 9 April 2019 | 06:57 WIB

 

 

Oleh: Dahlan Iskan

 

Semua perjalanan punya titik loncat. Ada yang mau meloncat. Ada yang tidak.

Sudomo mau meloncat. Jadilah perusahaan kopinya, Kapal Api, begitu cepat besar. Terbesar di Jatim. Lalu terbesar di Indonesia. Selama 40 tahun terakhir. Belum terkalahkan. 

Titik loncat itu terjadi di tahun 1980. Saat umurnya 30 tahun. Begitu banyak pabrik kopi saat itu. Ada merk Glatik, Naga Dunia, Kedung Laju, Supiah, Wanita, Gadis dan seterusnya. Kapal Api tidak lebih besar dari mereka. Bahkan lebih kecil dari Glatik dan Kedung Laju.

Saat itu semua pabrik kopi masih menggunakan mesin goreng kecil-kecil. Yang diputar pakai tangan.

Sudomo ingat kebiasaan di sekolahnya: kalau ingin tahu apa pun bisa membuka ensiklopedia. Yang ia kenal adalah Ensiklopedia Americana. Ada di sekolahnya dulu.

Ensiklopedia berfungsi mirip Google sekarang ini. 

Tentu ia ingin tahu teknologi pabrik kopi di negara maju. Ia buka Ensiklopedia Americana. Diketahuilah mesin kopi yang paling modern di Eropa. Dengan kapasitas goreng 500kg/jam. Dengan kualitas goreng yang sempurna. Menggunakan angka-angka indikator yang terukur.

Sudomo pengin sekali punya mesin itu. Ia lapor bapaknya. Kaget. Begitu mahal. "Kita bisa bangkrut nanti," komentar spontan sang ayah. Seperti selalu diingat Sudomo. Diucapkan kembali saat Sudomo jadi pembicara utama. Di HUT pertama DisWay Februari lalu.

Sudomo ambil tanggung jawab. Ia cari pinjaman bank. Ia akan mati-matian melunasi kredit itu.

Waktu itu Kapal Api memang sudah waktunya harus lebih besar. Kalau bertahan dengan pabriknya yang di Jalan Kenjeran Surabaya akan begitu-begitu saja. Seperti juga merk kopi lainnya. 

Halaman:

Tags

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB