PROKAL.CO, JAKARTA- Isu penolakan SPBU swasta terhadap base fuel Pertamina kembali mencuat setelah sejumlah operator menyampaikan bahwa kandungan etanol 3,5% dianggap tidak sesuai standar mereka.
Penolakan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan BBM non-subsidi dan ketidakpastian regulasi di industri hilir migas. Menurut laporan, alasan utama penolakan adalah perbedaan spesifikasi teknis yang dianggap merugikan SPBU swasta.
Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi PAN, Totok Daryanto, menyatakan bahwa SPBU swasta punya hak atas standar teknis mereka sendiri. “Kita harus hormati standarisasi BBM swasta. Kita tidak bisa memaksakan untuk mengikuti standar Pertamina,” kata Totok kepada Jaringan Promedia, Jumat 3 Oktober 2025.
Selain itu, Totok juga menyayangkan keluarnya kebijakan pembatasan impor BBM untuk SPBU swasta. Kebijakan ini, katanya, hanya akan membuat gaduh karena terjadi kelangkaan.
“Malah seharusnya pemerintah buka selebar-lebarnya impor BBM agar rakyat bisa dapat harga yang murah,” ujar mantan Bendahara Umum PAN ini.
Pengamat kebijakan publik Sunardi Panjaitan menilai, kasus ini mencerminkan lemahnya koordinasi kebijakan energi. “Pertamina memang ditugaskan pemerintah sebagai penyedia utama, tapi standar teknis harus disepakati bersama, tidak semau Pertamina," katanya.
Langkah pemerintah membatasi impor BBM swasta demi mengarahkan pembelian ke Pertamina berisiko menciptakan monopoli halus. Lembaga antitrust Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan sudah memberi sinyal akan menelaah kebijakan ini.
KPPU mengkritik kebijakan pembatasan kenaikan impor bensin non-subsidi yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025. Kebijakan ini dinilai memperkuat dominasi pasar Pertamina, mengurangi pilihan konsumen, dan mengancam persaingan usaha yang sehat.
Dalam analisis KPPU, tambahan impor untuk badan usaha (BU) swasta hanya berkisar 7.000–44.000 kiloliter. Sebaliknya, Pertamina Patra Niaga justru mendapat tambahan jauh lebih besar, sekitar 613.000 kiloliter. Akibatnya, pangsa pasar Pertamina di segmen BBM non-subsidi melonjak hingga 92,5%. (*)