Derita petani kelapa sawit swadaya tampaknya belum usai. Tuntutan mereka ke pabrik kelapa sawit (PKS) untuk membeli tandan buah segar (TBS) dengan harga tinggi sulit terwujud. Sebab, harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan hanya berlaku bagi petani yang bermitra.
SAMARINDA–Ketentuan ini tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Permentan/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Pada Pasal 4 Ayat 1 mengamanahkan perusahaan perkebunan membeli TBS produksi pekebun mitra melalui kelembagaan pekebun untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerja sama secara tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai dengan kewenangan.
Selanjutnya disebutkan bahwa perjanjian kemitraan tersebut dilaksanakan paling singkat 10 tahun, di Ayat 3 bahkan mengatur syarat teknis antara lain kondisi kebun, meliputi: tingkat pemeliharaan; persentase tenera; persentase dura; dan rendemen CPO dan PK.
Dengan demikian, pekebun yang bukan mitra dari perusahaan tersebut tidak dapat menuntut harga yang ditetapkan oleh dinas perkebunan provinsi karena harga penetapan tersebut sekali lagi hanya berlaku bagi pekebun yang telah bermitra.
Dalam hal ini, pekebun yang tidak bermitra bebas menjual TBS nya ke PKS yang menurut mereka dapat memberikan harga tertinggi yang dapat mereka peroleh. Permasalahan sering muncul karena adanya pemahaman yang keliru bahwa SPK jual beli dianggap sebagai perjanjian kemitraan seperti yang diatur dalam permentan di atas.
Sebelumnya, salah satu perusahaan swasta di Kutai Kartanegara dituntut oleh petani yang tidak bermitra karena dianggap membeli TBS tidak sesuai aturan. Dengan harga TBS sebesar Rp 1.769 per kilogram. Kepala Dinas Perkebunan Ujang Rachmad mengatakan, harga beli PKS terhadap TBS sesuai ketetapan berlaku bagi petani pekebun yang sudah bermitra dengan perusahaan.
“Itu dulu yang terpenting. Saat ini perusahaan yang telah bermitra secara tertib mereka menerapkan harga beli sesuai harga yang ditetapkan oleh Disbun provinsi dan kami mengawasi penerapan harga ini secara ketat,” tegasnya, Minggu (31/7).
Sedangkan bagi pekebun atau koperasi yang tidak bermitra, harganya berdasarkan harga pasar yang disepakati kedua belah pihak, hal ini sesuai dengan Surat Edaran Gubernur No. 525/4449/Disbun/2022 Tanggal 25 Mei 2022.
Karena itu, Dinas Perkebunan mendorong kemitraan agar dilakukan melalui proses dan substansi yang benar dan dituangkan dalam dokumen perjanjian kemitraan yang diketahui oleh pihak bupati/gubernur sesuai kewenangannya, hal ini untuk menjaga dan memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Ditemui terpisah, Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Azmal Ridwan mengatakan, pelaku usaha tentunya membeli TBS dengan harga yang sudah ditetapkan. Namun hanya kepada petani yang sudah bermitra dengan perusahaan. Sebab, penetapan harga TBS yang diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Permentan/KB.120/1/2018 hanya untuk petani bermitra.
Sedangkan untuk non-kemitraan, pabrik tidak memiliki kewajiban untuk membeli. “Secara aturan PKS menggunakan harga yang ditetapkan untuk membeli TBS para petani bermitra. Jika tidak sesuai, maka perusahaan salah. Namun untuk petani tidak bermitra, PKS tidak wajib menyerap dan harganya juga sesuai kesepakatan,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, petani swadaya boleh menjual TBS kepada PKS namun kesepakatan harga bukan mengikuti harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan setiap bulan. Artinya jika ada perusahaan yang dianggap tidak sesuai harganya, maka mereka bisa mencari pabrik lain. Tidak boleh menuntut pabrik tersebut karena memang mereka bukan petani bermitra.
Bahkan itu selalu disosialisasikan oleh Dinas Perkebunan. “Harga yang diatur pada permentan bukan harga untuk semua petani. Namun untuk harga buah petani yang menjalin kemitraan dengan petani plasma. Jadi jelas aturannya,” tutur dia.