Melayani kebutuhan rumah masyarakat berpenghasilan rendah merupakan hal yang rentan bagi sebuah usaha. Sebab, untungnya kecil namun berisiko besar. Pemerintah punya pekerjaan rumah besar untuk mengatasi tingginya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah. Salah satunya di Kaltim yang tertinggi di Pulau Kalimantan.
Rikip Agustani
Selisih antara jumlah kepala keluarga dan jumlah rumah di Kaltim hampir mencapai 250 ribu. Sementara di empat provinsi lainnya, angkanya 47 ribu hingga 212 ribu. Berdasarkan data Housing and Real Estate Information System Tahun 2022, backlog di Kaltim sebanyak 247.540. Sementara itu, Kalsel sebanyak 212.220, Kalteng sebesar 144.612, Kalbar 134.266, dan Kaltara sejumlah 47.079.
“Secara umum backlog di Indonesia, 84 persen didominasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata panel ahli Katadata Insight Center Mulya Amri dalam webinar “Rumah untuk Semua: Mencari Solusi Merdeka Punya Rumah Layak”, Senin (15/8). Dia melanjutkan, permasalahan penyediaan rumah saat ini adalah pembangunan rumah subsidi yang kurang diminati pengembang besar. Sehingga pembangunan rumah subsidi umumnya dilakukan pengembang skala kecil. Akses permodalan dan regulasi juga kerap menjadi keluhan bagi pengembang rumah subsidi. Lantaran motif ekonomi menjadi alasan utama minimnya partisipasi pengembang besar.
“Melayani kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, merupakan sebuah hal yang rentan. Bagi sebuah usaha. Karena untungnya kecil, tapi risikonya besar,” ungkapnya. Karena itu, dibutuhkan peran vital pemerintah dan lembaga perbankan. Sebab, penambahan rumah subsidi sangat bergantung pada regulasi dan alokasi program pembiayaan pemerintah. Dibutuhkan lembaga perbankan yang berkomitmen menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi. “Dan rumah subsidi ini bisa diperbanyak,” jelas Mulya.
Selain itu, harga tanah turut menjadi hambatan utama penambahan pasokan rumah untuk MBR. Apabila bisa dikendalikan, akan menyelesaikan masalah backlog. “MBR perlu dukungan pembiayaan dan diperlukan sumber pembiayaan alternatif. Seperti kerja sama pemerintah dengan swasta. Juga kolaborasi dengan perbankan untuk mendukung kepemilikan rumah bagi MBR,” pesannya. Dia melanjutkan, rekomendasi yang perlu dilakukan adalah perlunya pemerintah mendukung ketersediaan lahan pembangunan hunian bagi MBR. Kemudian, pengembangan hunian vertikal harus diwujudkan dengan melibatkan pengembang skala besar.
Regulasi dan program pemerintah mesti sejalan dengan tujuan penambahan pasokan hunian MBR. “Inovasi sumber pendanaan harus menjadi fokus utama mengurangi beban APBN. Pemerintah perlu mengkaji pentingnya bank khusus perumahan rakyat. PMN dan kecukupan modal perbankan mendukung cita-cita mulia pemerintah mewujudkan tempat tinggal yang layak huni bagi MBR,” ungkapnya. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Moerod mengungkapkan, realisasi pembangunan rumah di Kaltim selama masa pandemi Covid-19 relatif tinggi.
Berdasarkan data Sistem Informasi Kumpulan Pengembang, hingga 27 Juli 2022, realisasi pembangunan rumah subsidi yang dilakukan REI untuk wilayah Kaltim sejak 2020–2022, sebanyak 2.121 unit yang belum terjual. Sedangkan yang sudah terjual 5.558 unit. “Kendalanya sebetulnya, adalah daya beli masyarakat dalam dua tahun terakhir ini. Dikarenakan dampak (pandemi) Covid-19. Dan bank masih sangat selektif di dalam memberikan KPR,” kata dia. Moerod mengatakan, REI punya banyak unit rumah yang sudah dibangun dan siap dijual. Akan tetapi, realisasinya agak sulit dengan aturan perbankan.
Dia mengatakan, hal tersebut harus dimaklumi. Lantaran perbankan sangat hati-hati dalam memberikan kredit pemilikan rumah atau KPR. “Untuk mengantisipasi terjadinya kredit macet dan membuat kreditur tidak bisa membayar angsuran secara kontinu. Karena penghasilannya terganggu akibat pandemi Covid-19,” jelasnya. Dia pun mengusulkan penyediaan perumahan bagi MBR adalah melakukan percepatan penerbitan ketentuan harga jual baru rumah subsidi tahun 2022 bagi rumah MBR. Untuk menyesuaikan kenaikan harga material dan upah tukang. Selain itu, melakukan uji coba program akses MBR informal, agar mendapat KPR subsidi pemerintah.
Termasuk membuka kesempatan bagi pekerja sektor informal untuk mengakses pembiayaan perumahan. “Per dalam skema rent-to-own (sewa untuk memiliki) rumah, untuk memperluas jangkauan pembiayaan perumahan bagi pekerja industri dan sektor informal,” tuturnya. Yang tak kalah penting, sambung dia, optimalisasi bank tanah dan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3), untuk dapat menghadirkan harga tanah yang terjangkau bagi pembangunan perumahan di pusat kota. Lalu, melakukan perbaikan ekosistem, investasi, dan rantau pasok di sektor perumahan setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Menjadikan program sejuta rumah, juga sebagai salah satu program padat karya pemerintah, untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Di samping insentif pembangunan rumah susun subsidi, sesuai dengan RPJMN 2019–2024,” pungkasnya. (riz/k8)