• Senin, 22 Desember 2025

BI Proyeksikan Rupiah Menguat di Kuartal III

Photo Author
- Sabtu, 27 April 2024 | 09:01 WIB
Rupiah masih anjlok terhadap dolar.
Rupiah masih anjlok terhadap dolar.

 

JAKARTA–Indeks nilai tukar USD terhadap mata uang utama (DXY) menguat tajam. Mencapai level tertinggi 106,25 pada 16 April 2024. Perkembangan tersebut memberikan tekanan depresiasi kepada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia terus mengarahkan kebijakannya untuk menjaga stabilitas rupiah. Skenario atau asumsi baseline bank sentral dengan probabilitas di atas 75 persen memperkirakan Fed Funds Rate (FFR) akan turun sekali tahun ini. Memangkas sebesar 25 basis poin (bps) pada kuartal IV, kemungkinan di akhir tahun.

Nah, potensial risiko lainnya, FFR tidak turun selama 2024. The Federal Reserve (The Fed) baru akan memangkas suku bunga sebanyak 50 bps di kuartal I atau II 2025. “Tell risk-nya, Fed Funds Rate akan tetap tinggi lebih lama di 2024, baru turun di 2025. Itulah mengenai probabilitas yang kami lakukan untuk bagaimana nanti memitigasi potential risk akan kembali ke baseline,” ucap Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (25/4).

Perry meyakini rupiah akan tetap stabil di sekitar Rp 16.200 pada kuartal II 2024. Yang kemudian akan menguat ke arah rata-rata Rp 16 ribu di kuartal III 2024. Bahkan akan menguat berkisar Rp 15.800 pada kuartal IV. “Itu langkah yang kami lakukan. Termasuk memperkuat stabilisasi rupiah dan operasi moneter yang pro-market,” ujarnya.

Sementara itu, Senior Economist DBS Bank Radhika Rao memandang, kenaikan BI-rate sebagai tindakan yang bijaksana dan bersifat preventif. Karena isyarat global dan katalis dalam negeri kurang kondusif. Mempertimbangkan revisi asumsi dasar BI untuk siklus FFR, preferensi untuk tetap waspada dan memprioritaskan stabilitas rupiah, bank sentral tampaknya akan tetap memperpanjang suku bunga tinggi hingga akhir tahun ini. “BI akan menaikkan suku bunga lanjutan jika kondisinya sangat memungkinkan,” ucap Radhika.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani memandang, kenaikan suku bunga acuan akan membawa tiga tantangan. Pertama, kebijakan perbankan yang cenderung akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga sektor usaha akan mengalami kenaikan cost of fund. Hal itu akan mendorong kenaikan harga pokok penjualan (HPP) atas produksi. ’’Inilah hal pertama yang perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation,’’ ujarnya.

Kedua, pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas dan potensi kenaikan harga barang, maka daya beli masyarakat akan mengalami tekanan. Apalagi, pemerintah juga mempunyai ruang fiskal yang relatif terbatas untuk menopang daya beli masyarakat dengan skema bantuan sosial (bansos).

Ketiga, risiko perlambatan ekonomi. Ajib menyebut, tren pertumbuhan ekonomi RI cukup bagus pasca-pandemi. Tapi, di sisi lain, ada tren pertumbuhan yang menurun. Pada 2022 pertumbuhan ekonomi secara agregat mencapai 5,31 persen dan 2023 "hanya" mencapai 5,05 persen. Tren menurun itu diharapkan kembali bisa rebound di tahun 2024, sehingga pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi pada angka 5,2 persen.

’’Namun, ketika pemerintah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan,’’ imbuhnya.

Dari sisi penguatan nilai rupiah, Ajib mengimbau agar pemerintah harus fokus dan konsisten dengan transformasi ekonomi yang berorientasi ekspor dan substitusi impor. Selanjutnya, secara bilateral perlu membangun kesepakatan untuk transaksi dagang dengan mata uang lokal atau dedolarisasi. (han/dee/dio/jpg/dwi/k8)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Harga TBS di Kaltim Kembali Turun

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:00 WIB
X