Prokal.co - Tak sedikit masyarakat yang kesulitan untuk mengakses keperluan rumah. Angka defisit atau backlog perumahan pun sangat besar, yakni 12,7 juta unit pada 2023. Kesenjangan yang jauh antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang diperlukan. Maka, segmen rumah subsidi untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) selalu diminati.
“Kemampuan masyarakat kita masih tetap di rumah subsidi. Banyak dicari. Bahkan sampai waiting list sekian ratus orang sekali buka. Kami dari Real Estate Indonesia (REI) Kaltim pada 9–18 Juni nanti mau mengadakan expo, edukasi khususnya perumahan komersial,” papar Ketua REI Kaltim Bagus Susetyo.
Selain rumah subsidi, banyak pengembang yang menghadirkan pilihan rumah komersial dengan harga yang masih terjangkau. Bujetnya cenderung bervariasi, menyesuaikan preferensi keuangan, dan minat masyarakat.
Dijelaskan jika tidak semua rumah komersial harganya di atas Rp 1 miliar seperti yang selama ini terlihat di iklan. “Beberapa pengembang menawarkan rumah yang harganya jauh dari kemampuan masyarakat. Padahal kita juga ada harga yang kisaran Rp 300 juta. Itu akan selalu ada ceruk pasarnya,” lanjut dia.
Sejauh ini, Bagus melihat jika tipikal masyarakat yang mencari rumah khususnya di Kaltim sangat minim informasi atau tidak melakukan survei terlebih dahulu. Hanya melihat dan menerima apa yang disodorkan di depan mata. Beda dengan di Jawa.
“Di Jawa sana, masyarakatnya itu cari dulu, perbandingan. Tidak hanya harga, tapi bagaimana lingkungannya. Misal untuk profesi tertentu seperti dokter, notaris, dan lain-lain itu preferensi perumahan yang dicari pasti beda. Tidak akan sama dengan MBR, mencari sesuai standar. Pemikiran seperti itu yang coba dibangun juga di sini,” ungkap Bagus.
Di sisi lain, minat memiliki rumah di Kaltim juga masih belum seperti daerah lainnya. Dia melihat polanya jika kebanyakan masyarakat lebih mengutamakan membeli kendaraan pribadi seperti mobil. Pola konsumtif. Sehingga pihaknya terus lakukan edukasi terkait.
Terkait harga, banyak penawaran rumah komersial yang harganya masih bisa dijangkau di luar rumah subsidi. Akses dan fasilitas serta lingkungan yang juga turut jadi pertimbangan. Sebab, perumahan subsidi yang cenderung dibangun di kawasan pinggiran, kendalanya adalah akses jalan yang kurang.
“Di Kaltim ini keperluan rumah tinggi sebenarnya. Utamanya datang dari kalangan muda atau pasangan baru menikah. Katakan saja setiap tahun angka pernikahan nasional bisa lebih dari 1 juta orang, ya segitu juga yang memerlukan rumah. Kebutuhannya bisa 30–50 ribu unit di Kaltim. Makanya selain subsidi, ada juga rumah komersial yang masih terjangkau,” bebernya.
Saat ini juga diakuinya jika kredit pemilikan rumah (KPR) pun semakin bervariasi. Bunga rendah mulai 3–10 tahun flat. Bahkan ada juga subsidi hingga 25 tahun angsuran. Bunga bank juga disesuaikan kemampuan masing-masing, Bagus menyebut di rentang 12–13 persen. “Memang masih primadona si rumah subsidi ini. Tapi bukan berarti tidak ada pilihan,” kata dia.
Bisnis properti di Kaltim dikatakan semakin menggeliat. Efek dari Ibu Kota Nusantara (IKN). Sekian juta orang akan migrasi ke Kaltim, dan keperluan utamanya tentu rumah.
Bagus berharap, itu juga didukung oleh pemerintah lewat proses perizinan yang dipermudah. Kemudian juga kelengkapan akses dan infrastruktur hingga listrik dan air.
“Proyek perumahan ini kan menggerakkan ekonomi lokal. Ada 175 bisnis turunan di dalamnya yang ikut berputar. Mulai material bangunan, furnitur, dan lain-lain. Apalagi kalau rumah subsidi kan biasa di pinggiran kota. Itu aksesnya juga diperhatikan. Kaitannya kan juga bakal menggerakkan ekonomi di daerah sana jika akses jalan memadai misal,” tutupnya. (rom/k8)