Mestinya pukul 3 sore kami sudah tiba di Singkawang. Lihat pawai lampion dulu. Baru makan malam. Kemudian melihat debat di tv. Di kamar hotel masing-masing.
"Wah kita tidak bisa melihat debat nih," ujar seorang pengusaha. Saat naik ke dalam bus. Satu jam sebelum jadwal debat. Sebelum melihat ada tv besar di dalam bus.
Lalu ia begitu gembira. Setelah tahu ada tv besar di situ. Ups... Ia kembali kecewa.
"TV ini hanya bisa untuk video dan karaoke," ujar petugas bus.
"Bisa nggak hand Phone dihubungkan ke TV itu. Kita bisa cari live streaming di HP. Lalu dilihat di TV," tanya pengusaha itu. Yang membawa WIFI portable. Yang lebih kuat dari WIFI milik bus.
"Juga tidak bisa," jawab petugas bus.
"Yaaaaaccchhhh," keluh pengusaha tadi.
Tapi ia tidak putus asa. Tetap mencari chanel debat di HP. Yang menyediakan layanan live streaming.
Berhasil. TV masa depan memang akan pindah ke live streaming seperti itu.
Kami pun menuntut teman itu: agar suara debat bisa dibesarkan. Untuk didengar seisi bus. Biar pun hanya suaranya.
Maka pemilik HP itu merangkap jadi operator. Mendekatkan corong microfon ke HP. Lumayan.
Hanya saja tidak bisa sempurna. Sesekali sinyalnya putus.
Saya sendiri sebenarnya tidak tertarik mengikuti debat itu. Beberapa penumpang juga jatuh terkulai: tertidur. Pasti isi debat itu tidak menarik baginya. Juga bagi saya.
Tapi saya harus tetap membuka telinga. Saya kan harus menulis untuk DI's Way. Itulah wartawan. Harus biasa mengerjakan apa saja. Pun yang tidak ia suka.
Tapi keadaan membuat saya tidak bisa mengikuti debat itu. Secara utuh. Tidak bisa memperhatikan body language mereka. Maka tidak baik kalau saya menulis hanya berdasarkan pengamatan yang sepotong.