Dikhawatirkan, pedagang yang lebih kecil kalah bersaing dengan ritel modern. Tezar menangkisnya dengan sigap.
Bahwa ada kewajiban bagi waralaba ritel untuk membina usaha kecil dan menengah di sekitarnya. Istilahnya program kemitraan.
"Mengajari mereka pembukuan keuangan, menyuplai barang dagangan, menyediakan halaman untuk gerobak kecil. Jadi usaha masyarakat tak serta merta mati," tegasnya.
Selain itu, Tezar juga termotivasi oleh potensi dana sosial (corporate social responsibility). "Kami harap Alfamart menyediakan CSR sebagai kompensasi kepada warga Banjarmasin," tutupnya.
Alfamart Jamin Ikuti Aturan
KETIKA dikonfirmasi terkait rencana penambahan ritel di Banjarmasin, perwakilan PT Sumber Alfaria Trijaya, yakni Corporate Communicator Manajer Regional Kalimantan, Budi Santoso mengaku belum mengetahuinya.
"Posisi saya sekarang di Jakarta," ujarnya melalui sambungan telepon kemarin (26/1).
Namun, ia tak menutupi keinginan perusahaannya, selama ada peluang yang menguntungkan dan memungkinkan.
"Kalau memang ada potensi, kami berharap bisa menambah. Tentu ketika membuka gerai, kami pasti mengikuti aturan pemerintah setempat," jamin Budi.
Mengacu data lama, tahun 2019 lalu, tercatat ada 110 ritel modern di Banjarmasin. 50 gerai milik Alfamart dan 60 milik Indomaret.
Satu sisi, harus diakui, ritel membuka lapangan pekerjaan baru. Berbelanja di sana juga lebih nyaman.
Tapi bagi AH (inisial saja), 63 tahun, pedagang di Pasar Pekauman, ekspansi waralaba ritel membuatnya cemas.
Karena dampaknya sudah terasa. Tak jauh dari Pasar Pekauman, memang sudah berdiri beberapa ritel modern.
Dalam kasus ini, aturan jarak 500 meter yang ditetapkan pemko bisa diperdebatkan.
"Zaman dulu pendapatan bisa Rp500 ribu sampai Rp700 ribu sehari. Sekarang, Rp200 ribu pun susah," keluhnya.