“Beda sama ikan lele, banyak di sini sentra pemijahannya,” ungkap pria yang pernah menimba ilmu langsung di sentra patin di Bogor itu.
Di sisi lain, pertimbangan utama budi daya patin masih minim adalah masa panen yang cenderung lama. Berbeda dengan lele, yang hanya 2–3 bulan, maka untuk patin memerlukan waktu paling singkat 7 bulan untuk mencapai bobot 0,7-1 kilogram. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi petani dengan modal minim. Sebab, selama 7 bulan tersebut, harus memberi makan patin yang disebut Manggala rakus.
“Rasionya 1 banding 1. Artinya 1 ton ikan sama dengan 1 ton pakan. Harga pakannya pun, pellet itu sekarung (berat 30 kilogram) harganya Rp 330 ribu,” ucapnya.
Meski harga jual yang lebih tinggi daripada ikan lele, namun karena masa panen yang lebih lama dan pemberian pakan yang banyak, membuat tak banyak petani yang mengandalkan patin sebagai komoditas utama di tambak darat mereka.
“Ikan lele per kilogram Rp 25 ribu. Ikan patin Rp 28–30 ribu. Di petani harganya pun hampir sama. Makanya petani malas (budi daya patin),” ungkapnya.
Itu yang membuat hingga kini hanya ada tiga lokasi budi daya patin dalam jumlah besar di Balikpapan. Penjualannya melalui pengepul yang datang langsung ke tambak. Kemudian menjualnya ke pasar dan rumah makan di Kota Beriman.
“Di Balikpapan ini, yang rumah makan yang hidangkan patin juga tidak banyak. Paling warung Banjar atau yang menyediakan menu bakar-bakaran,” imbuhnya.
Dia mengaku tidak begitu paham soal kandungan gizi ikan patin. Namun, sejumlah alasan patin tidak banyak digemari karena kandungan lemaknya yang tinggi. Meski bagi sejumlah orang, kandungan lemak ini sangat lezat, bagi yang ingin menjaga kesehatan cenderung menghindari mengonsumsi patin.
“Lemaknya banyak sekali. Bahkan sampai ada yang kena strok gara-gara terlalu banyak konsumsi patin,” ujarnya.
Karena itu dirinya menyarankan, bagi mereka yang memiliki penyakit kolesterol dan hipertensi sebaiknya tidak mengonsumsi patin. Dalam kondisi olahan apapun jika tidak memahami cara mengurangi lemak yang terkandung di dalam ikan yang dalam bahasa perdagangan internasional dikenal sebagai siamese shark tersebut.
“Yang tidak hipertensi pun hati-hati. Kalau terlalu ‘nyaman’ makannya cek saja setelah itu. Pasti tekanan darahnya naik,” ucapnya. (rdh/dwi/k16)