• Senin, 22 Desember 2025

Mengintip Budi Daya Kopi di Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru

Photo Author
- Sabtu, 1 Oktober 2022 | 09:40 WIB
Bupati Kukar Edi Damansyah di kebun kopi Prangat.
Bupati Kukar Edi Damansyah di kebun kopi Prangat.

Seiring waktu, petani karet di Kutai Kartanegara (Kukar) mulai beralih tanam. Kopi yang semula jadi selingan, kini primadona. Omzetnya pun menggiurkan.

 

ULIL MU’AWANAH, Marang Kayu

[email protected]

 

RINDONI menuangkan air panas dari ketel ke kertas filter yang diletakkan di dripper. Ketika diseduh bubuk kopi liberika yang telah dihaluskan tersebut, menghasilkan aroma manis alami. Aroma yang keluar memang berbeda dan menambah cita rasa kopi pada umumnya. Tak hanya aroma, cita rasanya membuat orang jatuh cinta.

Transmigran asal Lamongan, Jawa Timur itu adalah Ketua Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru (Kapak Prabu) di Kecamatan Marang Kayu, Kukar. Kelompok tani itu beranggotakan 34 orang. Mulanya, Rindoni memiliki profesi yang sama seperti masyarakat sekitar pada umumnya. Yakni menjadi petani karet.

Setelah menyadap karet ataupun sebelum memulai aktivitas di pagi hari, Rindoni terbiasa memiliki ritual meminum kopi. Kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Lantas suatu hari, pada 1997, dia mendapat bibit kopi kiriman koleganya dari Pulau Jawa. Dia pun tak menyangka, bibit tanaman kopi liberika yang ditanam itu berhasil tumbuh.

“Kopi liberika itu dikirim dari Banyuwangi. Jenis ini ternyata cocok dengan lingkungan di Kaltim. Dulu, banyak orang tak menyangka bahwa kopi ini bisa tumbuh. Tapi, sekarang kami mampu membuktikan dan berhasil memproduksinya,” ujar pria yang merantau ke Desa Prangat Baru pada 1989 itu, pada awak media, Kamis (29/9).

Selain aroma dan cita rasa. Proses pengolahan kopi liberika itu banyak menarik peminat kopi. Tamu terus ramai bertandang untuk melihat proses pemetikan hingga sekadar melihat luwak yang hidup di sekitar kebun kopi tersebut. Awalnya, Rindoni juga tak menyadari bahwa mamalia bernama ilmiah Paradoxurus hermaphroditus tersebut bisa ditemukan di Kukar yang notabene didominasi pertambangan.

Setelah dipelajari, ternyata dia menyadari biji kopi dari kotoran luwak bernilai sangat tinggi. Hewan yang sempat dikira hama itu pun tidak hanya memberikan rasa nikmat pada kopi, tapi juga membantu petani menebarkan benih yang lebih berkualitas. Biji kopi yang dikonsumsi luwak itu bukan pula sembarangan, melainkan pilihan. Lalu dari situlah, ia mulai fokus mengembangkan tanaman kopi dan menjelajahi kebun untuk mencari kotoran luwak.

“Kami ingin mempertahankan ekosistem luwak di sekitar kebun dan membudidayakannya. Sehingga ke depan, luwak bisa lebih jinak dan tidak takut dengan keberadaan manusia. Tamu pun bisa berinteraksi langsung,” tutur Rindoni, mitra binaan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) tersebut. Agar kebun kopi dan lingkungan luwak saling terjaga, sekaligus jadi tempat wisata edukasi menarik di Kaltim.

Biji kopi luwak diolah secara tradisional. Setelah dikumpulkan, biji kopi dicuci, dijemur, dan dipisahkan dari cangkangnya. Kemudian, biji kopi disangrai menggunakan wajan tradisional. Barulah biji kopi dihaluskan dan bisa diseduh untuk dinikmati. Biji kopi utuh juga diperjualbelikan. Prosesnya memang panjang, tetapi hasilnya pun menggiurkan.

Dari 2 hektare kebun miliknya, Rindoni berhasil mengumpulkan 10-15 kilogram biji kopi luwak. Saban kali panen, omzet yang diraih mencapai Rp 45-50 juta. Satu kilogram biji kopi mampu dijual Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Juga tersedia kemasan dari 100 gram yang dijual mulai harga Rp 425 ribu. Rindoni mengaku banyak pula menerima pesanan online dari luar Kalimantan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Harga TBS di Kaltim Kembali Turun

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:00 WIB
X