JAKARTA–Investasi pertambangan di Indonesia dinilai akan terhambat jika aspek environment, social and government (ESG) tidak serius diimplementasikan. Sektor pertambangan dan ESG harus berhubungan dekat karena ke depan bukan hanya menyangkut dekarbonisasi sektor pertambangan, tetapi juga dekarbonisasi dunia.
Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia Jalal mengatakan, di sektor pertambangan, riset Price Waterhouse Cooper (PwC) menyebut, perusahaan yang tidak serius dengan ESG akan berbeda sekali performa finansialnya dibandingkan dengan perusahaan yang serius akan ESG.
"Tidak bisa kita tidak serius dengan ESG. Kita butuh menaikkan banyak mineral dan logam dan persyaratannya dengan ESG. Para pemimpin perusahaan pertambangan harus belajar ESG dengan benar," ujar Jalal saat Seminar Nasional ESG: Adaptasi ESG melalui Dekarbonisasi dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati untuk Menyongsong Pertambangan Berkelanjutan, Jumat (26/1).
Seminar Nasional ESG yang diinisiasi Agincourt Resources ini dihadiri sekitar 100 orang dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan wartawan. Jalal mengungkapkan, kegiatan pertambangan harus dilakukan ekstrahati-hati. Jangan sampai menyelamatkan manusia dari perubahan iklim, tapi justru membahayakan keanekaragaman hayati.
Menurutnya, pelaporan standar yang paling populer yakni Global Reporting Initiative (GRI) ini sangat penting. Standar GRI di Indonesia sudah diterapkan banyak perusahaan. Namun, jika ingin ESG mendapat pengakuan global, mau tidak mau harus memperbaiki pelaporan.
Jalal pun memberi rekomendasi bagi pelaku usaha di sektor pertambangan untuk belajar keuangan berkelanjutan, integrasi ESG jangan hanya ramai di mulut, bikin penilaian materialitas yang serius, isu ke depan akan sangat penting di antaranya dekarbonisasi dan keanekaragaman hayati perlu diperhatikan, membuat pelaporan dengan menggunakan standar internasional ICMM dan IRMA, serta perlu mempelajari GRI Mining.
"Karena regulasi masih kurang untuk ESG, maka perlu didorong agar lebih serius biar ada level playing field pertambangan Indonesia dengan di luar sana," katanya.
Direktur SDGs Center Universitas Padjadjaran Zuzy Anna mengungkapkan, kebutuhan ESG menjadi keniscayaan, terutama dalam pasar global. Investor lebih memilih investasi di perusahaan yang mengimplementasikan ESG dan mengikuti kriteria ESG.
"Lembaga keuangan tidak mau memberikan pinjaman atau modal kepada perusahaan yang mungkin terekspos tidak sesuai dengan standar ESG. Partner juga tidak ingin membeli barang dan jasa dari perusahaan yang tidak memiliki," ungkap dia.
Zuzy mengatakan, ESG mendorong bad temptations. Pasar sangat menarik untuk para fund managers biaya lebih tinggi membuat institusi bergerak cepat ke pasar. Di sisi lain, sebagian masyarakat tidak tertarik untuk mendengar tentang trade off tujuan lingkungan, sosial dan tata kelola. "Ada banyak yang mengutak-atik konsep dan angka beberapa menduga green washing dalam skala besar. Bagaimanapun the idea and importance of ESG is highly," katanya.
Zuzy meyakini ESG adalah public coach atau terkait market layer. Sebenarnya ini harus diselesaikan oleh pemerintah sehingga perlu adanya regulasi. "KLHK sudah menerapkan di Proper. Jadi, sebenarnya tidak kurang landasan untuk ESG, maupun SDG’s," katanya.
MINIMALKAN DAMPAK OPERASI TAMBANG
Manager Environmental PT Agincourt Recources, Mahmud Subagya mengatakan, pihaknya melakukan implementasi dengan induk usaha Astra. Cucu perusahaan Grup Astra itu mengambil enam aspirasi yang difokuskan pada target 2030. Enam target adalah menurunkan emisi GRK sampai 30 persen pada 2030, manajemen energi yakni 50 persen bauran EBT di Grup Astra, manajemen air, manajemen limbah pabrik, keberagaman dan inklusivitas karyawan, kesehatan dan keselamatan kerja karyawan.