JAKARTA–Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 tidak sekencang 2022. Pada tahun lalu hanya mampu tumbuh 5,05 persen, melambat dibandingkan 2022 yang mencapai 5,32 persen. Sementara itu, khusus kuartal IV, pertumbuhan mencapai 5,04 persen. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan, perlambatan itu dipicu sentimen global.
’’Salah satunya, fenomena el nino yang berdampak pada pertumbuhan lapangan usaha pertanian,’’ kata Amalia di Jakarta (5/2). Dilihat dari sumber pertumbuhan, Amalia menambahkan bahwa konsumsi rumah tangga menjadi kontributor tertinggi yang mencapai 2,55 persen. Konsumsi rumah tangga tumbuh karena inflasi terkendali dan daya beli masyarakat terjaga. Ditambah, sektor pariwisata mulai pulih dan mendongkrak konsumsi melalui okupansi hotel maupun restoran.
Baca Juga: Masih Potensial, Investasi Sektor Perikanan Capai Rp 9,56 T
Meski demikian, secara kumulatif, kontribusi konsumsi rumah tangga pada 2023 tidak setinggi setahun sebelumnya. Yakni, 4,82 persen pada tahun lalu, sedangkan pada 2022 mencapai 4,94 persen. ’’Perlambatan konsumsi rumah tangga, menurut data kami, terutama dari perlambatan pengeluaran kelompok menengah atas,’’ imbuhnya. Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2023 berada di bawah ekspektasi.
Momen libur Natal dan tahun baru yang diperkirakan dapat mengerek konsumsi rumah tangga, nyatanya tidak optimal. Hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa pulang kampung. Pada saat yang sama, inflasi dari bahan pokok cukup tinggi sehingga menggerus daya beli masyarakat. ’’Itu yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kita rendah. Saya kira itu yang utama,” ungkapnya saat ditemui Jawa Pos.
Baca Juga: Kolaborasi Garap Minat Investor Asing ke IKN
Kemudian, belanja pemerintah alias government expenditure tidak sesuai harapan di pengujung 2023. Belanja modal tidak banyak. Justru anggaran pemerintah lebih banyak ke belanja gaji pegawai, perjalanan dinas, dan sebagainya. Alhasil, realisasinya tidak sampai 5 persen seperti ekspektasinya. Menurut dia, pemerintah gagal mengendalikan harga pangan. Mengacu data BPS Januari 2024, sebanyak 28 provinsi, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, mengalami kenaikan harga beras. Yakni, mengalami inflasi 0,64 persen dengan andil terhadap inflasi utama sebesar 0,03 persen.
Pemerintah terlambat dalam merespons fenomena el nino. Padahal, sebenarnya mereka tahu sejak 2022 dan fenomena itu terjadi mulai Juli 2023. Dugaannya, pemerintah merasa el nino hanya terjadi di Indonesia. Padahal, fenomena alam itu juga terjadi di banyak negara. ’’Sehingga, mencari alternatif impor beras sudah terlambat. Harga sudah cenderung tinggi. Kenaikan harga beras merangkak sejak November. Pada akhir tahun masyarakat lebih penting beli beras ketimbang membelanjakan uangnya untuk hal lain. Artinya, konsumsi yang lain turun,” beber Tauhid. (dee/han/bil/c7/dio/jpg/riz/k8)