Lebih lanjut, Komaidi menyampaikan, kontribusi batu bara tidak hanya berupa masuknya investasi, penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara (pajak dan PNBP), tetapi juga stabilitas nilai tukar rupiah karena menjadi penyokong devisa ekspor. Struktur ekonomi Indonesia, dimana 70 persennya adalah komponen impor sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar.
Kalau nilai tukar rupiah terdepresiasi, lanjutnya, maka daya saing akan jatuh sedalam-dalamnya. Artinya kalau batu bara ini menolong perolehan devisa ekspor, membantu stabilisasi nilai tukar rupiah, maka kontribusinya tidak sekadar yang terlihat di atas kertas laporan keuangan pemerintah pusat.
"Nah, itu yang kadang-kadang cara pandang kita seolah lupa. Kita lupa bahwa batu bara ini kontribusinya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tapi kemudian kalah dengan isu transisi dan pengaturan emisi tadi. Kadang-kadang cerita indah seribu malam selesai dengan cerita tidak baik hanya dalam satu menit," imbuh Komaidi.
Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau menyampaikan, cadangan batu bara nasional yang mencapai 35 miliar ton dan sumber daya sebesar 134 miliar ton diperkirakan bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika digunakan sendiri dengan cara yang benar. Bahkan jika sebagian diantaranya diekspor, batu bara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang.
"Untuk itu kita harus mencari cara Clean Coal Process, sambil tetap menerapkan EBT. Kalau Clean Coal Process dilakukan dan emisi bisa ditekan, bahkan ditiadakan, maka tidak ada masalah kan?" katanya.
Dia menambahkan, sampai saat ini batu bara merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batu bara untuk mengurangi emisi.
"Kita membayangkan yang terjadi dengan Indonesia kalau 50 tahun lalu semua PLTU di Indonesia tidak ada emisinya, semua yang keluar dari PLTU, karbon ditangkap, sulfur, NOX ditangkap, ada apa dengan batu bara? mungkin tidak ada masalah," ungkap Rachmat. (*)