Pondok Pesantren Bina Ul Muhajirin berdiri sejak 1991, berbarengan dengan mulai mukimnya warga transmigrasi di daerah tersebut. Basisnya adalah pembinaan keagamaan kepada warga di sekitar Babulu, Penajam Paser Utara.
RADEN RORO MIRA, Penajam Paser Utara
Terdapat santri mukim dan juga pulang pergi, dengan total hampir 500 santri mulai jenjang taman kanak-kanak sampai setara SMA. “Pada 2016, pemimpin yayasan berpulang. Ketika beliau meninggal, ibaratnya tidak ada lagi sosok yang mengayomi lembaga khususnya di bidang ekonomi. Jadi pengurus lain coba memulai kemandirian,” beber Wakil Ketua Yayasan Hasyim Asyari.
Sejak awal berdiri hingga 2016, biaya pendidikan gratis. Setelahnya, coba dengan sistem sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Pada tahun itu juga mencoba peruntungan lewat usaha sarang walet. Tanah hibah dijual dan dijadikan modal awal.
“Terhitung usaha ini masih ada, tapi belum bisa menopang perekonomian pesantren. Pada 2018, pesantren punya lahan sawah 13 hektare yang sebelumnya disewa oleh masyarakat. Sekitar Rp 2 juta per tahun, jadi dapat Rp 26 juta per tahun, tapi itu tetap belum menutupi biaya operasional. Untuk biaya makan saja setahun bisa Rp 146 juta. Dan kami juga dapat bantuan dari Dinas Sosial itu sekitar Rp 30 juta per tahun. Jadi masih kurang Rp 96 juta,” paparnya.
Dari sana, Hasyim berpikir bagaimana agar tanah yang disewakan Rp 2 juta per tahun bisa lebih produktif. Paling tidak mampu hasilkan Rp 10 juta tahun/hektare. “Jadi saya ketok palu di 2018 itu, bahwa seluruh tanah kita ambil alih lagi. Jadi 10 hektare kita alihkan untuk perkebunan sawit. Kemudian 2019 stu hektare ditanami pisang kepok,” lanjutnya.
Seiring waktu, diakui jika memang masih banyak yang perlu dibenahi. Apalagi bidang perkebunan yang tentu harus banyak belajar bagaimana dari sisi pengelolaan. “Sawit masih buah pasir. Untuk pisang ini yang inshaallah habis Lebaran panennya. Sudah ada pasarnya juga,” sebut Hasyim.
Mendapat bantuan inkubasi bisnis dari Kementerian Agama, pesantren menerima Rp 185 juta untuk pengembangan usaha. Kala itu disarankan untuk lebih mengembangkan usaha yang sudah ada agar menjadi basis kemandirian.
Hasyim melihat peluang untuk membangun toko khusus jual beli keperluan perkebunan. Berdiri tak jauh dari pesantren, hanya berjarak sekitar 300 meter berdirilah Binaul Berdikari. Berada di sentral desa.
“Jujur untuk usaha bidang retail ini pengalaman pertama. Jadi memang masih perlahan memelajari. Dari analisis di semester pertama toko berdiri alhamdulillah untung. Tapi memang masih belum mencukupi operasional karyawan. Masuk semester kedua sudah mulai kelihatan dan timbul semangat kami,” ungkapnya.
Mulai terlihat pola usahanya. Berbanding terbalik dengan usaha perkebunan yang menurut Hasyim tidak mudah. “Belajar atau evaluasi dari sebelumnya dan mulai kelihatan. Kami juga melibatkan alumni untuk bisa membantu di toko,” sambung dia.
Dari berbagai unit usaha yang sudah dikembangkan, Hasyim optimis dapat terus memberi kontribusi lebih untuk perekonomian. “Kuncinya adalah kontinyu dan mampu mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Apalagi untuk sawit sudah melihat proyeksi ke depan, inshaallah bisa Rp 500 juta per tahun. Tinggal bagaimana berproses dan sabar,” katanya.
Sebab untuk saat ini, kapasitas produksi di sawit dengan luasan 10 hektare sekali panen mampu hingga 2 ton. Dengan perbaikan kualitas buah, diyakini angkanya dapat lebih dari itu.