• Senin, 22 Desember 2025

Krisis Lapangan Kerja di Indonesia, Masa Depan Kaum Muda Terancam

Photo Author
- Sabtu, 26 Juli 2025 | 11:45 WIB
CARI KERJA: Pencari kerja melihat persyaratan pendaftaran. FOTO: DOK/RADAR TARAKAN
CARI KERJA: Pencari kerja melihat persyaratan pendaftaran. FOTO: DOK/RADAR TARAKAN

JAKARTA – Media internasional mulai menyoroti krisis lapangan kerja di Indonesia, yang kini menjadi ancaman serius terhadap kesejahteraan generasi muda. Dalam laporan terbaru yang dimuat oleh Al-Jazeera, disebutkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, meskipun telah mengantongi gelar sarjana dan pengalaman tambahan.

Salah satu kisah nyata datang dari Andreas, lulusan sarjana hukum yang telah dua tahun lulus. Ia gagal dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan tidak diterima dalam program jaksa magang. Kini, ia kembali tinggal bersama orang tuanya dan membantu menjaga toko sembako tanpa bayaran. Mimpi untuk mandiri dan bekerja sesuai jurusan tampak semakin jauh.

Baca Juga: Ramai di Mal Tapi Tak Ada yang Beli, Muncul Istilah Rojali dan Rohana, Penurunan Daya Beli yang Nyata

Menurut data resmi pemerintah, sekitar 16 persen pemuda Indonesia usia 15–24 tahun tidak memiliki pekerjaan, lebih dari dua kali lipat dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja di sektor informal dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial, dan tanpa jenjang karier yang jelas.

“Secara statistik, pengangguran terbuka memang menurun. Namun, itu belum mencerminkan membaiknya kualitas pasar kerja, khususnya bagi lulusan muda,” ujar seorang pakar ketenagakerjaan nasional.

Sementara itu, 56 persen tenaga kerja di Indonesia masih bekerja di sektor informal, yang artinya mereka berada dalam kondisi kerja rentan, tidak stabil, dan minim perlindungan.

Kesenjangan antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia industri menjadi faktor utama mengapa banyak sarjana tidak terserap dalam pasar kerja. Kompetensi lulusan sering kali tidak sesuai dengan tuntutan pasar, sementara program vokasi dan pemagangan yang menjadi penghubung dunia pendidikan dan kerja masih sangat terbatas di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia dan Vietnam.

Bahkan, beberapa lulusan dengan IPK tinggi dan pengalaman magang tetap mengalami penolakan kerja, termasuk untuk posisi non-akademik seperti pengisi ulang mesin ATM.

Presiden Prabowo Subianto telah mengakui seriusnya persoalan pengangguran di kalangan muda. Pemerintah pun membentuk gugus tugas penciptaan lapangan kerja, namun implementasi dan dampaknya masih belum dirasakan secara luas.

Di sisi lain, kebijakan pemotongan anggaran untuk layanan publik turut memicu keresahan dan gelombang protes, terutama dari kalangan mahasiswa. Banyak pihak menilai bahwa penanganan krisis kesejahteraan generasi muda belum menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional.

Akses terhadap lapangan kerja layak jauh lebih sulit di luar Pulau Jawa. Kawasan-kawasan di luar pusat pertumbuhan ekonomi mengalami keterbatasan infrastruktur, konektivitas, dan peluang investasi. Hal ini memperparah ketimpangan ekonomi dan sosial antarwilayah, menjadikan banyak lulusan muda di daerah hanya bisa berharap atau memilih migrasi ke kota besar yang juga sudah padat dan kompetitif.

Fenomena ini menciptakan lingkaran frustrasi dan keputusasaan di kalangan muda Indonesia. Andreas, misalnya, mengaku kecewa karena semua kerja kerasnya selama kuliah—termasuk mengambil kelas tambahan saat libur demi cepat lulus—belum membuahkan hasil.

“Saya merasa seperti gagal memenuhi harapan orang tua dan diri saya sendiri. Saya hanya ingin bekerja dan hidup mandiri, tapi seolah tak ada ruang bagi kami para lulusan muda,” keluhnya.(jpg)

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Harga TBS di Kaltim Kembali Turun

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:00 WIB
X