kalimantan-timur

Meraba Hasil Sengketa Pilpres

Indra Zakaria
Selasa, 9 April 2024 | 12:23 WIB
Herdiansyah Hamzah

Herdiansyah Hamzah

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

 

SENGKETA perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) akan dibacakan pada 22 April mendatang. Saat ini rapat permusyawaratan hakim (RPH) tengah berlangsung. Banyak pihak yang memprediksi, RPH tersebut berlangsung alot.

Terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan untuk mempersilakan kepada para pemohon, termohon, dan pihak terkait untuk menyampaikan kesimpulan. Hal yang selama ini tidak lazim dalam PHPU. Dalam RPH ini, delapan hakim MK (tanpa Anwar Usman), akan memutuskan hasil perkara PHPU Pilpres ini. Lantas seperti apa putusan MK? Apakah MK akan menolak permohonan para pemohon atau justru mengabulkannya?

Cukup banyak kalangan yang berharap MK tidak menggunakan kacamata kuda dalam memutus perkara PHPU pilpres ini. Artinya, MK tidak bisa hanya bersandar kepada perolehan hasil semata. Namun juga melihat proses pemilu ini dari hulu ke hilir secara substantif. Dan itu hanya bisa terjadi jika MK mengaktifkan fungsi aktivisme peradilannya, atau apa yang sering disebut juga sebagai “judicial activism”.

Merujuk apa yang dijelaskan secara sederhana oleh Richard Posner, judicial activism merupakan bentuk penggunaan kekuasaan kehakiman untuk mempertanyakan (second-guess) penentuan kebijakan cabang-cabang kekuasaan non-yudisial. Dalam konteks PHPU pilpres ini, judicial activisme bermakna MK keluar dari tempurung sengketa yang hanya dibatasi oleh perolehan angka-angka, dan secara progresif memotret apakah pilpres ini betul-betul telah merepresentasikan nilai keadilan secara substantif atau tidak.

 

Amar Putusan

 

Dalam ketentuan Pasal 53 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK Nomor 4 Tahun 2023), terdapat tiga bentuk amar putusan MK. Pertama, dalam hal permohonan dan/atau pemohon tidak memenuhi ketentuan formil, maka amar putusan akan, “menyatakan permohonan tidak dapat diterima”. Kedua, dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka amar putusan, “menyatakan menolak permohonan pemohon”. Dan Ketiga, dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan, “menyatakan mengabulkan permohonan pemohon”, oleh karenanya Mahkamah “membatalkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh termohon dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar”.

Namun, tetap terbuka menambahkan opsi lain di luar tiga bentuk amar putusan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) PMK Nomor 4 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa, “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan”. Pertanyaannya, hal lain apa yang dipandang perlu sebagai tambahan amar putusan dalam perkara ini? Opsinya beragam.

Sangat bergantung urgensi terhadap proses dan hasil pilpres. Mahkamah bisa saja menambahkan amar yang berkaitan dengan perbaikan pilpres di masa mendatang. Sebagai contoh, larangan pemberian bansos mendekati hari H pemungutan suara pilpres. Hal ini untuk mencegah politisasi bansos untuk memenangkan calon tertentu. Namun, semua bergantung dari dinamika dalam RPH.

Proses RPH ini diprediksi berlangsung alot. Bahkan diperkirakan putusan ini tidak akan bulat di antara para hakim. Akan ada hakim yang dissenting opinion (pendapat berbeda) atau concurring opinion (alasan berbeda).

Halaman:

Tags

Terkini