kalimantan-utara

Mendesak Tanjung Selor Jadi Kota

Rabu, 4 September 2019 | 13:16 WIB

“Padahal sebelum terbentuknya Kaltara, seharusnya elemen itu sudah ada. Dan saya kira itu ada, hanya saja masih ditahan. Akhirnya saling lempar tanggung jawab. Padahal masing-masing sudah ada kewenangannya sendiri-sendiri,” ucapnya.

Dalam hal ini CDOB Kota Tanjung Selor tidak bisa disamakan dengan usulan CDOB lainnya, karena CDOB Kota Tanjung Selor ini merupakan perintah UU. Jika ada persepsi yang mengatakan itu ingin dijadikan satu paket bersama dengan empat usulan CDOB di Kaltara supaya nanti keluarnya sama-sama, menurutnya itu tidak bisa.

Untuk DPRD yang baru, ada banyak sekali PR yang harus diselesaikan selain CDOB Kota Tanjung Selor ini. Salah satunya soal isu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim), tentu Kaltara juga harus berbenah menyambut rencana itu.

“Ada beberapa investor yang menginformasikan ke saya bahwa beberapa tahun ke depan Kaltara ini akan menjadi daerah yang sangat mahal. Tentu ini tidak baik dan tidak sehat jika semuanya tidak diatur sejak awal,” sebutnya.

“Termasuk juga dengan kebijakan yang sudah dibentuk di daerah. Masih ada beberapa yang belum berjalan dengan baik. Tapi, itu bukannya diperbaiki, malahan membuat kebijakan baru lagi,” sambungnya.

Oleh karena itu, bisa dikatakan kebijakan yang dibentuk itu yang penting selesai, tapi tidak ada tindak lanjutnya. Seharusnya kebijaakan yang dibentuk itu bisa dimaksimalkan fungsinya sesuai dengan harapan awal saat pembentukan.

Pastinya, kapasitas DPRD atau fungsi legislatif itu adalah controling terhadap eksekutif atau pemerintah. Jika berbicara soal ketatanegaraan, sebenarnya Indonesia dominasinya di eksekutif sebagai eksekusi pertamanya, dengan sistem presidensial.

Hanya saja, dengan rezim pemilu yang ada saat ini, mau dicoba dikombinasikan dengan sistem parlementer. Sehingga jadinya presidensial rasa parlementer. Jika berbicara soal presidensial, dari atas hingga ke bawah itu esekutif yang paling dominan dalam memutuskan setiap kebijakan.

“Sistem pengawasan itu sebenarnya tidak diperlukan dalam sistem presidensial. Namun, dalam demokrasi Pancasila yang kita ciptakan sekarang ini, ada istilah demokrasi yakni sistem kontrolnya ada separuhnya di parlemen,” kata Irsyad.

Dalam hal ini, legislatif tentu memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah, dan termasuk juga membuat peraturan. Hanya saja, organ politik secara nasional itu belum berfungsi secara baik seperti yang diharapkan.

“Nah, bicara ke daerah, kalau kita bicara dalam ranah presidensial demokrasi Pancasila, maka kepala daerah adalah pemegang kekuasaan tertinggi di daerah, sebagai eksekutor utama. Sementara legislator melakukan kontrol,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti soal rapat paripurna yang dilakukan DPRD sebelumnya itu bisa dihitung jari. Itupun hanya berbicara masalah anggaran. Tidak banyak berbicara bagaimana pembentukan daerah yang baik, dan seperti apa tatakelola daerah yang baik.

“Seharusnya, DPRD itu dapat memiliki peran yang lebih besar dalam proses pengawasan pembangunan di daerah. Dengan begitu, diharapkan DPRD yang baru dilantik dapat memperbaiki dan menyelesaikan sejumlah PR yang belum diselesaikan itu,” tutupnya.

Calon terpilih anggota DPRD Kaltara dari Partai Golkar, Syarwani berjanji akan memperjuangkan CDOB tersebut.

“Ini merupakan bagian yang akan terus kita perjuangkan. Dalam hal ini tentu perlu adanya konsentrasi bersama dan sinergitas. Karena ini bukan hanya kebijakan kabupaten dan provinsi, tapi juga ada kewenangan di pemerintah pusat,” tuturnya.

Halaman:

Tags

Terkini