kalimantan-utara

Bom Ikan Merupakan Kejahatan

Jumat, 20 Oktober 2023 | 16:34 WIB
JALANI PERSIDANGAN: Tiga terdakwa asal Malaysia dihadirkan di persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, Kamis (19/10).

TARAKAN - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltara Rukhi Syayahdin dihadirkan dalam sidang perkara perikanan, dengan tiga terdakwa asal Malaysia di Pengadilan Negeri Tarakan, Kamis (19/10).

Kehadiran Rukhi disiapkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli perikanan. Keterangan Rukhi di persidangan, semua kegiatan perikanan sudah jelas diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khusus terkait konservasi sumber daya ikan diatur dalam Pasal 8 ayat 1. Yaitu terkait upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk sumber daya ikan.

“Memang dilarang dan tak diperbolehkan melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem laut,” tegas Rukhi.

Penangkapan menggunakan alat tangkap yang dilarang itu dengan menggunakan bom, racun dan beberapa tangkap lainnya sudah dilarang. Hal yang ditimbulkan akan merusak ekosistem laut, kerugian secara ekonomi dan akan berakibat kerugian terhadap para pelaku sendiri.

“Ikan yang di bom tidak baik dikonsumsi. Karena ikan yang dibom sempat mengalami proses kerusakan di beberapa organ tubuhnya,” ungkapnya.

Menurut Rukhi, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan para terdakwa bukanlah pelanggaran di sektor, melainkan suatu kejahatan. Sebab para terdakwa didapati melakukan aksi pengeboman ikan.

“Kami di DKP Kaltara selama ini sudah ada melakukan pengawasan. Salah satunya dengan mengoptimalkan pengawasan kelompok pengawas masyarakat,” ujarnya.

JPU, Komang Aprizal menegaskan, ketiga WNA melanggar Pasal 84 Ayat 1 Undang-Undang Perikanan dengan ancaman pidana 6 tahun denda Rp 1 miliar. Jika merujuk Pasal 102 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, ketiganya tidak dilakukan penahanan lantaran status WNA.

Namun, jaksa tetap membutuhkan kebenaran dasar perjanjian itu. Guna menjadi pertimbangan saat penjatuhan tuntutan. “Karena undang-undang itu meratifikasi Unclos ya. Undang-undang internasional. Tak seperti pidana lainnya, misal narkotika. Kalau perikanan harus ada perjanjian terlebih dahulu,” tuturnya.

DKP Kaltara nantinya masih akan mencari tahu terkait kerja sama Indonesia dan Malaysia untuk pidana perikanan. Namun pihaknya meyakini, persoalan ini banyak terjadi di Indonesia. Terutama di perairan Natuna yang banyak WNA asal Vietnam melakukan tindakan serupa.

“Ya tetap mereka diminta uang jaminan untuk dideportasi. Kapalnya akan dirampas untuk negara,” tegasnya. (sas/uno)

Tags

Terkini