kalimantan-utara

Dilema Warga Kaltara di Tengah Komitmen Hutan Lestari, Kayu Legal Sulit, Ilegal Ditangkap

Jumat, 1 Agustus 2025 | 10:02 WIB
KAYU LEGAL: Perusahaan yang memegang PBPH seharusnya menjadi pemasok utama kayu legal bagi warga. Terutama untuk pembangunan rumah, sekolah, balai desa, hingga tempat ibadah. (HRK)

Di tengah komitmen menjaga kelestarian hutan, persoalan akses masyarakat terhadap kayu legal masih menjadi pekerjaan rumah besar di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Meski regulasi nasional telah mengatur alokasi kayu untuk kebutuhan masyarakat.

Kenyataannya masih banyak warga yang kesulitan mendapatkannya secara legal dan terjangkau. Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltara Maryanto.

Menurut dia, adanya kesenjangan besar antara kebijakan di atas kertas dan implementasi di lapangan. "Perusahaan pemegang izin usaha kehutanan memang diwajibkan mengalokasikan sekitar 5 persen dari produksi kayunya untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Tapi dalam praktiknya, masyarakat masih sulit mengaksesnya," kata Maryanto.

Maryanto menjelaskan, perusahaan yang memegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seharusnya menjadi pemasok utama kayu legal bagi warga. Terutama untuk pembangunan rumah, sekolah, balai desa, hingga tempat ibadah. Namun, sistem distribusi yang ada saat ini dinilai belum ramah masyarakat.

"Pembelian kayu dari perusahaan seringkali mengharuskan masyarakat membeli dalam jumlah besar. Dengan harga tinggi karena harus menanggung pungutan seperti Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)," jelasnya.

Situasi ini membuat masyarakat kecil berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka ingin mematuhi aturan dengan menggunakan kayu legal. Di sisi lain, biaya dan prosedurnya terlalu memberatkan, sehingga sebagian akhirnya memilih jalur tak resmi.

Skema alokasi 5 persen dari total produksi kayu perusahaan sebenarnya dirancang untuk menjamin akses kayu legal yang berkelanjutan bagi masyarakat. Namun, minimnya transparansi dan kurangnya infrastruktur tata niaga menyebabkan kebijakan tersebut belum menyentuh sasaran.

"Tujuannya baik, tapi dampaknya belum terasa. Masyarakat tetap kesulitan. Ini menunjukkan skema tersebut belum operasional secara efektif," tegasnya. Dishut Kaltara pun mendorong inovasi distribusi kayu legal agar lebih inklusif. Salah satu opsi yang ditawarkan adalah membentuk koperasi pengguna kayu.

Memberikan subsidi pembelian, atau menciptakan kemitraan masyarakat dengan PBPH agar distribusi lebih adil dan berdaya guna. "Kalau sistem distribusinya tidak diperbaiki, masyarakat akan terus kesulitan. Kita harus menciptakan mekanisme baru yang mudah diakses, transparan, dan terjangkau," ujarnya.

Menurut Maryanto, keberhasilan pengelolaan hutan tidak hanya diukur dari jumlah pohon yang dijaga. Tetapi juga dari sejauh mana masyarakat sekitar bisa menikmati manfaatnya secara legal dan berkelanjutan. (fai/uno)

 

Terkini