NUNUKAN – Kantor Imigrasi Kelas II TPI Nunukan menepis keras isu tak sedap mengenai dugaan pungutan liar (pungli) yang beredar di media sosial terkait proses deportasi delapan orang Warga Negara (WN) Malaysia pada akhir Oktober 2025 lalu.
Kepala Seksi Teknologi dan Informasi Keimigrasian Kantor Imigrasi Nunukan, Iwan, menegaskan bahwa tidak ada pungutan atau biaya di luar ketentuan resmi yang dibebankan kepada WN Malaysia yang dipulangkan ke negara asal. Ia menjamin bahwa seluruh proses administrasi telah dilakukan sesuai dengan regulasi resmi dari Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Tidak ada pungutan biaya di luar aturan. Semua biaya yang timbul dalam proses pemulangan WNA telah diatur dan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Iwan, Jumat (7/11).
Biaya SPC Resmi Sesuai Regulasi
Iwan menjelaskan kronologi kejadian bermula ketika delapan WNA Malaysia diamankan di Sebatik karena masuk secara ilegal tanpa melalui pemeriksaan keimigrasian. Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui mereka hanya memiliki Identiti Card (IC) Malaysia.
Imigrasi Nunukan kemudian berkoordinasi dengan Konsulat Malaysia di Pontianak, yang membenarkan identitas kedelapan orang tersebut sebagai WN Malaysia. Sebagai tindak lanjut, Imigrasi menerbitkan Surat Pengakuan Cemas (SPC) atau Emergency Passport sebagai dokumen perjalanan.
Iwan menekankan bahwa biaya untuk penerbitan SPC adalah Rp194.000 per orang, sesuai dengan regulasi resmi yang telah ditetapkan pemerintah.
“Biaya SPC itu resmi dan sudah ditetapkan pemerintah. Tidak ada tambahan biaya apa pun dari pihak Imigrasi Nunukan,” tegasnya.
Proses pemulangan delapan WN Malaysia tersebut dilakukan dalam dua tahap, di mana enam orang di antaranya dideportasi pada 31 Oktober 2025. Bantahan terkait isu pungli ini juga disampaikan oleh Bahrun, perwakilan keluarga dan suku serumpun dari sejumlah WNA yang dideportasi.
“Kami memastikan tidak ada pungli yang dilakukan oleh pihak Imigrasi,” ujar Bahrun singkat, turut memperkuat klarifikasi dari Kantor Imigrasi Nunukan dan membantah tudingan yang beredar di media sosial. (*)