Lebih sumpek lagi karena saya kepikiran disway. Hari itu saya belum menulis DisWay untuk besok paginya. Mobil ini terlalu bergoncang untuk menulis. Banyak lubang di jalan. Atau polisi tidur.
Selepas Abbottabad mungkin baru bisa menulis. Ternyata tidak. Jalannya penuh tikungan. Di sela-sela tebing gunung yang tinggi. Jalannya juga tidak mulus.
Inilah jalur utama menuju Kashmir. Melewati jalan bercabang di pertigaan setelah Abottabad.
Tapi saya ikuti jalan yang lurus. Menuju Balakot. Yang kalau diteruskan sampai perbatasan dengan Xinjiang, Tiongkok. Tinggal 50 km lagi dari Balakot.
Saya tidak sampai perbatasan itu. Berhenti di Balakot. Daerah yang 13 tahun lalu hancur total oleh gempa bumi. Yang penduduknya tinggal di lereng-lereng gunung berbatu. Yang puncaknya masih bersalju. Pun sampai akhir Maret ini. Di balik gunung itulah wilayah Kashmir. Yang lagi panas. Dua pesawat India ditembak jatuh.
Pesawat itu lagi mengincar satu kampung di daerah ini. Yang dianggap pusatnya ekstrimis - - atau pejuang gigih-- Kashmir.
Wilayah ini termasuk kaki pegunungan Himalaya. Karena itu puncak-puncaknya masih bersalju.
Penduduk setempat juga tinggal di sepanjang lembahnya. Yang di situ mengalir sungai berbatu. Indah sekali. Salju di atas. Air jernih mengalir di bawah. Dengan udara sejuk 17 derajat.
Saya minta sopir untuk berhenti. Tidak ada restoran bagus. Tidak ada hotel bagus. Hotel-hotel hancur saat gempa. Yang sudah kembali dibangun pun baru hotel dan restoran kelas darurat.
Saya mampir di situ. Duduk di kursi santai. Di pinggir sungai berbatu. Menghadap ke puncak bersalju. Di situlah saya menulis DisWay edisi kemarin.
Tapi saya tidak punya internet. Ufone saya tetap tidak berfungsi. Bagaimana harus kirim naskahnya?
Teman-teman Pakistan sayalah yang menolong. Memberikan akses personal hotspot.
Tahun depan daerah ini sudah tidak sulit lagi ditempuh. Tiongkok lagi membangun Motorway sepanjang 900 km. Tidak perlu terlalu berkelok. Gunung-gunung itu di tembus dengan terowongan.
Saya hanya 1 jam di Balakot. Setelah berbincang dengan mereka saya putuskan tidak bermalam di situ. Senja itu juga menuju Peshawar. Empat jam perjalanan lagi.
Kota Peshawar adalah perbatasan Pakistan dengan Afganistan. Kebetulan sopir saya ini asli Peshawar. Bahkan sukunya Pastun. Yang menjadi suku mayoritas di Afganistan. "80 persen penduduk Peshawar suku Pastun," katanya.