• Senin, 22 Desember 2025

Masyaallah

Photo Author
- Sabtu, 30 Maret 2019 | 06:53 WIB

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang 'masyaallah'. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata 'masyaallah' sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak  tulisan 'masyallah' di Pakistan. Dalam huruf Arab masyaallah. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan 'masyaallah' itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan 'subhanallah'.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofinya.

Malam itu kami juga diskusi... hahaha... sepakbola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepakbola kita. Semangat sekali. 

Nuha memang kelihatan agak 'kacau'. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepakbola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan...apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepakbola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama 'Karachi City of Kriket'. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. Nuha mau bisnis sepakbola. 

Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di disway lain kali.

Mereka masih harus pulang ke Islamabad. Harus tetap kuliah. Saya juga belum istirahat sejak pukul 04:00 pagi. 

Diskusi dengan mahasiswa selalu saja lupa lelah. Lupa ngantuk. Terlalu banyak topik yang bisa dibahas. Melihat itu mestinya kita bisa lebih cepat maju.

Atau tidak usah cepat-cepat? Tunggu tahun 2045 saja? Setelah saya tidak ada? 

 

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X