JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan peran batu bara masih sangat signifikan hingga 2060. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan, hingga 2060 produksi batu bara diprediksi masih sampai 720 juta ton.
Ini adalah skenario pertama tanpa memasukkan upaya transisi energi dengan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). "Nah, bergantung pada perkembangan dari EBT," ujar Irwandy Arif dalam Seminar Energy for Prosperity: The Economic Growth Impacts of Coal Mining yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Kamis (14/3).
Baca Juga: Berau Ekspor Jutaan Metrik Ton Batu Bara, Tiongkok Pasar Terbesar, Komoditas Perkebunan Menyusul
Diakui, proses transisi energi ini tidaklah gampang dan butuh waktu. Maka tak heran Dewan Energi Nasional (DEN) pun telah merevisi target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi 17 persen, lantaran saat ini realisasinya juga baru kisaran 13 persen.
"Kemudian ada skenario berikutnya, yakni skenario NZE 2060. Ternyata, produksi batu bara di 2060 masih 327 juta ton. Jadi, kalau ditanya seberapa lama batu bara ini, di dalam buku saya, itu ada kurang lebih 40 tahun masih hidup," imbuh Irwandy.
Menurutnya, arah kebijakan pemanfaatan baru bara nasional, yang utama ada dua. Pertama, jaminan pasokan batu bara dalam negeri harus ada supaya listrik tetap hidup. Kedua, soal peningkatan nilai tambah.
"Dan kita luar biasa paniknya pada waktu ada pengurangan suplai batu bara ke PLTU di Jawa, kira-kira satu tahun, dua tahun lalu. Itu kita mati-matian pertahankan. Karena kalau sudah ada shutdown dua, tiga PLTU, maka Jawa akan kekurangan listrik," terang Irwandy.
Sementara itu, terkait peningkatan nilai tambah, Irwandy mengakui tantangannya sangat banyak. Terutama adalah bagaimana mengoptimasi penggunaan batu bara dan mencegah lebih banyak emisi dari CO2. "Batu bara kalau masih mau panjang umurnya, harus menerapkan green mining," imbuh Irwandy.
Dalam diskusi sama, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, data 2022 menunjukkan sebagian besar produksi listrik Indonesia berasal dari pembangkitan dengan sumber energi batu bara (66,98 persen). Berturut-turut setelahnya yakni gas (16,95 persen), air (6,65 persen), panas bumi (5,35 persen), BBM (3,43 persen), dan sumer energi lainnya (surya, biomassa) sebesar 0,64 persen.
Adapun biaya pembangkitan rata-rata (Rp/kWh) PLTU batu bara sebesar 737,52. Jauh lebih murah dibandingkan PLTS yang biaya pembangkitannya mencapai 1.034,52, tanpa backup system. Selisihnya Rp 297/kWh atau 30 persen lebih tinggi PLTS dibandingkan PLTU batu bara.
"Jika diganti PLTS, maka biaya listrik kita rata-rata tertimbangnya akan naik 30 persen. Itu dengan asumsi tarifnya PLTS sebesar itu (Rp 1.034,52/kWh). Sementara dalam realisasinya, backup system-nya kalau dihitung itu bisa dua kali lipat dibandingkan yang tadi," jelas Komaidi.
Lebih lanjut, Komaidi menyampaikan, kontribusi batu bara tidak hanya berupa masuknya investasi, penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara (pajak dan PNBP), tetapi juga stabilitas nilai tukar rupiah karena menjadi penyokong devisa ekspor. Struktur ekonomi Indonesia, dimana 70 persennya adalah komponen impor sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar.
Kalau nilai tukar rupiah terdepresiasi, lanjutnya, maka daya saing akan jatuh sedalam-dalamnya. Artinya kalau batu bara ini menolong perolehan devisa ekspor, membantu stabilisasi nilai tukar rupiah, maka kontribusinya tidak sekadar yang terlihat di atas kertas laporan keuangan pemerintah pusat.
"Nah, itu yang kadang-kadang cara pandang kita seolah lupa. Kita lupa bahwa batu bara ini kontribusinya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tapi kemudian kalah dengan isu transisi dan pengaturan emisi tadi. Kadang-kadang cerita indah seribu malam selesai dengan cerita tidak baik hanya dalam satu menit," imbuh Komaidi.