Bhima menjelaskan bahwa redenominasi akan memberikan insentif bagi penjual untuk membulatkan harga ke nominal paling atas. "Sebagai contoh efek redenominasi, harga barang dari Rp 9.000 tidak akan jadi Rp 9 tapi jadi Rp 10. Penjual akan cenderung menaikkan harga pembulatan ke nominal paling atas," jelasnya.
Fenomena ini dikenal sebagai opportunistic rounding, yaitu pembulatan ke atas yang dilakukan penjual untuk mempertahankan margin keuntungan saat redenominasi.
Bhima memperingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan baik, kenaikan harga akibat pembulatan ini dapat berujung pada inflasi yang tidak diinginkan dan melemahkan daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
"Apakah mencapai 8 persen pertumbuhan bisa pakai redenominasi? Sepertinya belum bisa," pungkas Bhima, mengindikasikan bahwa redenominasi bukanlah solusi untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi, melainkan langkah administratif semata yang harus diwaspadai dampaknya terhadap inflasi. (*)