SAMARINDA — Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) bersama Kejaksaan Tinggi Kaltim secara resmi menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Penerapan Pidana Kerja Sosial bagi pelaku tindak pidana ringan. Penandatanganan dilakukan oleh Gubernur Kaltim Dr. H. Rudy Mas'ud (Harum) dan Kepala Kejaksaan Tinggi Kaltim Assoc. Prof. Dr. Supardi di Ruang Ruhui Rahayu Kantor Gubernur Kaltim, Selasa (9/12/2025).
Gubernur Harum, yang mengaku ikut merancang UU ini saat masih bertugas di Komisi III DPR RI, menyambut baik kebijakan ini. Ia menyebut penerapan pidana kerja sosial sebagai instrumen baru yang berdimensi pemulihan, edukasi, dan manfaat sosial, sejalan dengan semangat hukum progresif dan keadilan restoratif yang akan diberlakukan melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai 2 Januari 2026.
???? Mengatasi Anggaran dan Kapasitas Rutan
Gubernur Harum memaparkan dua alasan utama yang mendasari pentingnya sistem pidana kerja sosial ini:
Overcrowding Rutan: Hampir semua rumah tahanan (rutan) di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas (overcrowded), bahkan mendekati 200 persen, dengan 60 persen kasus didominasi oleh kasus narkoba.
Efisiensi Anggaran: Pemerintah dapat menghemat anggaran besar, yang saat ini mencapai sekitar Rp2,4 triliun per tahun, untuk biaya makan dan minum narapidana di rutan/lapas.
Gubernur mengisyaratkan bahwa kegiatan pidana kerja sosial ini dapat diarahkan ke perusahaan-perusahaan UMKM, atau untuk kepentingan publik, seperti membantu kebersihan Sungai Mahakam atau Sungai Karang Mumus, serta membersihkan pesisir pantai di kabupaten/kota.
Meskipun mendukung penuh model ini, Gubernur Harum menekankan bahwa pidana kerja sosial tidak berlaku untuk semua kasus.
"Pidana kerja sosial ini hanya untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja. Kasus yang berat-berat, hukumannya harus tetap berat. Kalau tidak, nanti semua mau melanggar hukum," tegasnya.
Kasus yang dinilai ringan dan dapat dikenakan pidana kerja sosial antara lain balap liar dan perusakan fasilitas umum. Sementara untuk kasus pengguna narkoba, Gubernur Harum setuju agar mereka tidak dihukum penjara, melainkan direhabilitasi, dan mendorong pembangunan lebih banyak rumah rehabilitasi.
Kejati Kaltim Assoc. Prof. Dr. Supardi menambahkan bahwa sistem ini akan mereduksi jumlah tahanan yang masuk rutan. Ia menyebutkan, berdasarkan UU No. 1 Tahun 2023, narapidana yang dapat dikenakan hukuman kerja sosial antara lain yang berusia lebih dari 75 tahun, hukuman kurang dari 5 tahun, atau terdapat maaf dari korban.
Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) akan bertanggung jawab menyiapkan tempat dan jenis kegiatan. Sementara Kejaksaan (Tinggi dan Negeri) akan bertugas melakukan eksekusi dan pengawasan.
"Sistem ini bukan untuk merendahkan statusnya, tapi lebih memanusiakan manusia," tegas Gubernur Harum, menekankan bahwa sistem ini adalah sarana pembinaan yang konstruktif dan tidak merendahkan martabat.
Penandatanganan PKS ini turut melibatkan bupati dan wali kota se-Kaltim dengan para Kepala Kejaksaan Negeri se-Kaltim, serta disaksikan oleh Wagub Kaltim Seno Aji dan Direktur D pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Sugeng Riyanta. (adv/diskominfo/i)