kalimantan-timur

Komisi I Anggap Bupati Terburu-Buru Terbitkan SK PTDH

Selasa, 8 Januari 2019 | 06:36 WIB
Ketua Komisi I DPRD Fadliansyah.

PENAJAM- Komisi I DPRD Penajam Paser Utara (PPU) menilai pemerintah daerah terburu-buru mengeluarkan surat keputusan (SK) pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang menyandang status mantan terpidana kasus korupsi.

Sebanyak 11 ASN yang pernah terjerat kasus korupsi, diantaranya sembilan orang telah diberhentikan tidak dengan hormat. Sementara dua orang lainnya, masih dalam proses.

Ketua Komisi I DPRD Fadliansyah mengatakan, ada beberapa daerah di Indonesia masih menunda eksekusi atau pemberhentian ASN mantan terpidana kasus korupsi. Karena ada ASN yang masuk dalam daftar pemberhentian tersebut melayangkan gugatan ke pengadilan. 

“Ada upaya uji materi yang dilakukan beberapa daerah untuk mengugurkan edaran Kemendagri yang memerintahkan daerah memberhentikan ASN tersebut. Kami menyayangkan Bupati PPU  terburu-buru mengeluarkan SK pemberhentian,” kata Fadliansyah usai melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKP) Surodal Santoso dan Inspektur Inspektirat Haerah Yusni di kantor DPRD PPU, Senin (7/1).

Fadliansyah menyatakan, kasus korupsi yang melibatkan 11 ASN di lingkungan Pemkab PPU tersebut bergulir pada tahun 2005 dan 2013.

Mereka telah menjalani hukuman penjara paling lama satu tahun. Pada terjerat kasus tersebut, masih berlaku Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. 

Kemudian surat edaran Mendagri Nomor 800/4329/SJ tertanggal 29 Oktober 2012, hanya melarang ASN tersangkut kasus korupsi diberi jabatan eselon.

“11 ASN terjerat kasus korupsi sebelum berlakunya Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Mereka telah dihukum dan diberikan sanksi kepegawaian berdasarkan aturan yang lama, kemudian muncul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dijerat lagi dengan aturan tersebut. Harusnya tidak boleh menggunakan dua aturan, yakni aturan lama dan aturan baru. Seharusnya bupati berani menunda pembehentian itu, karena dalam edaran itu memang ada sanksi bagi pejabat pembina kepegawaian, tapi bunyi sanksinya tidak jelas,” tuturnya.

Dikonfirmasi, Kepala BKPP Surodal Santoso mengatakan, pemerintah daerah mengeluarkan SK pemberhentian tidak dengan hormat kepada ASN yang pernah terjerat kasus korupsi berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo Nomor 180/6867/SJ pada 10 September 2018.

Dalam surat edaran tersebut, Mendagri menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah untuk melakukan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap ASN yang tersandung kasus tindak pidana korupsi.

Dan Surat Keputusan Bersama  (SKB) Mendagri, Menteri PANRB, dan Kepala BKN tertanggal 13 September 2018, dengan nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018, dan Nomor 153/KEP/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Dan pemerintah daerah diberi batas waktu 31 Desember 2018. Atas dasar tersebut sembilan orang dari 11 ASN tersebut telah diberhentikan dan SK-nya ditandatangani bupati pada tanggal 31 Desember lalu. 

Sementara dua orang belum berhentian sebagai ASN, karena satu staf Dinas Pertanian tersebut belum diterima salinan putusannya dari Pengadilan Tipikor Samarinda.

Untuk staf Kecamatan Sepaku yang masuk dalam daftar pemberhentian tersebut akan dikonsultasikan terlebih dahulu ke pemerintah pusat. Karena staf Kecamatan Sepaku tersebut terjerat kasus korupsi sebelum diangkat jadi ASN.

Halaman:

Tags

Terkini