Herdiansyah Hamzah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
DOSEN mengajarkan mahasiswa tentang bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan. Memberikan asupan pengetahuan mengenai cara mengontrol dan mengawasi kekuasaan. Memastikan agar perilaku abusive kekuasaan tidak merusak sistem demokrasi kita.
Di dalam kelas, di sudut-sudut kampus, di seminar-seminar, ataupun di forum diskusi manapun, dosen mengajarkan tentang prinsip-prinsip demokrasi yang harus kita jaga dengan baik. Sayangnya, apa yang diajarkan dosen-dosen tersebut, seperti dikurung dalam sangkar kepalanya tanpa mampu diejawantahkan dengan baik.
Alih-alih keluar kandang dan bergabung dalam barisan pengkritik kekuasaan, tidak sedikit dosen yang justru menjadi barisan pembela kekuasaan nomor wahid. Inilah salah satu contoh, bagaimana etika kaum intelektual yang terabaikan. Terkubur dalam-dalam akibat perangai intelektual yang dibuai oleh kekuasaan.
Padahal, tugas utama kaum intelektual adalah memastikan demokrasi berjalan tegak. Bukan justru turut serta, bahkan menjadi stempel terhadap kerusakan demokrasi, akibat nafsu kekuasaan yang membabi buta. Demokrasi disandera untuk kepentingan elite politik.
Pada akhirnya, demokrasi kini dimaknai sebatas rutinitas lima tahunan. Sekadar prosedur untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan elite politik berjalan secara periodik. Demokrasi kehilangan esensi utamanya sebagai tools untuk memastikan agar kekuasaan dipimpin oleh orang-orang yang berstandar moral tinggi.
Demokrasi gagal menghadirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Memahami Etika
Demokrasi harus dibalut etika. Demokrasi tidak bisa hanya dijalankan berdasarkan rumusan prosedur tertentu. Tanpa etika, demokrasi kehilangan kemewahannya. Lantas apa yang disebut etika itu? Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethikos” yang berarti lahir dari kebiasaan. Etika merupakan cabang filsafat yang fokus kepada studi tentang nilai benar dan salah, baik dan jahat.