kalimantan-timur

Di mana Batas Dinasti Politik dan Perlindungan Hak Konstitusional?

Indra Zakaria
Senin, 18 Maret 2024 | 02:21 WIB

Oleh: Novita Fitriani

 Beberapa hari yang lalu, media dihebohkan dengan adanya isu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memasukkkan nama Erina Gudono ke dalam kandidat calon bupati Sleman tahun ini. Isu ini mencuri perhatian publik karena Erina Gudono adalah istri dari Kaesang Pangarep atau menantu dari Presiden Joko Widodo. Respon masyarakat terhadap isu ini cukup beragam, ada yang merasa bangga mengingat Erina adalah sosok wanita muda yang cantik dengan segudang prestasi (prestasi non-politik). Namun tidak sedikit juga yang berprasangka bahwa ini merupakan upaya membangun dinasti politik oleh Presiden Joko Widodo.

Dugaan terhadap politik dinasti cukup beralasan jika kita korelasikan dengan serentetan peristiwa politik yang terjadi beberapa tahun terakhir. Masyarakat mulai menyipitkan mata kepada Presiden Joko Widodo setidaknya sejak tahun 2022, yang dimulai dengan Anwar Usman (eks Ketua MK) menikahi adik presiden (Idayati). Dari peristiwa tersebut, masyarakat mulai menggali siapa saja anggota keluarga presiden yang memiliki jabatan di pemerintahan. Dan saat ini, kita mengetahui bahwa anak pertama presiden adalah Wali Kota Solo, suami dari anak keduanya adalah Wali Kota Medan, dan anak ketiga menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dua hari setelah ia resmi menjadi anggota partai tersebut.

Kekhawatiran masyarakat terhadap dugaan dinasti politik yang tengah dibangun adalah hal yang wajar. Penulis melihat terdapat 3 (tiga) alasan utama mengapa dinasti politik ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Pertama, dinasti politik berpotensi membuka peluang penyalahgunaan kekayaan dan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki posisi penting, maka akan semakin mudah untuk menutupi jejak-jejak kejahatan yang dilakukan. Para pejabat akan saling bahu-membahu memuluskan rencana yang menguntungkan, baik untuk internal keluarga maupun untuk kepentingan golongan tertentu. Kedua, adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi kader-kader lain. Dinasti politik hanya akan menciptakan suatu kondisi di mana hanya keluarga tertentu yang memiliki akses besar ke dalam kekuasaan politik. Mereka dapat menggunakan modal nama besar keluarga untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Tidak hanya itu, dengan kekuasaan di tangan maka akan memudahkan mereka memanipulasi hukum untuk menggunakan fasilitas negara dalam memenangkan kontestasi politik. Ketiga, partai politik menjadi abai dalam mempertimbangkan kualitas kader yang diusungnya. Dinasti politik memunculkan kecenderungan bagi partai untuk mengusung orang-orang dengan nama besar yang ada di belakang mereka, bukan berdasarkan rekam jejak, prestasi, maupun kesuksesannya di dunia politik. Sehingga tidak mengherankan ketika partai mengusung seorang “bayi” nama yang baru saja lahir ke dunia politik untuk ikut dalam petarungan politik.

 Berangkat dari kondisi yang demikian, pertanyaan yang muncul adalah apakah dinasti politik dilarang oleh konstitusi? Dan di mana batas antara dinasti politik dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara? Mari kita bahas.

Sejatinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) membuka ruang yang seluas-luasnya bagi warga negara untuk terjun di dunia politik, mengeluarkan pendapat, berekspresi, berserikat, duduk di pemerintahan, serta memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dalam konteks mengikuti pemilihan kepala daerah, kita dapat melihat Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, yang memberikan kebebasan bagi warga negara untuk berkontribusi di dalam pemerintahan. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa, secara normatif rencana memasukkan menantu Presiden Joko Widodo ke dalam kandidat calon bupati Sleman tidak melanggar konstitusi. Demikian pula apabila pada akhirnya Erina Gudono mencalonkan diri dan terpilih sebagai bupati Sleman, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi kita. Pada hakikatnya ini merupakan salah satu upaya mewujudkan dan melindungi hak konstitusional yang dimiliki Erina Gudono sebagai warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945.

Konstitusi kita tidak melarang adanya keikutsertaan warga negara untuk berpolitik dan memperebutkan kursi jabatan di pemerintahan. Sehingga konstitusi pun tidak mengatur mengenai “larangan dinasti politik” di Indonesia. Karena apabila dinasti politik diatur secara tegas, maka akan terjadi benturan dengan pasal-pasal mengenai hak konstitusional warga negara. Sehingga logika yang terbangun adalah, meskipun Erina Gudono berdiri di depan keluarga yang memiliki nama besar, namun ia tetaplah seorang warga negara di Indonesia.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa “memilih dan dipilih”, “turut serta dalam pemerintahan”, “diangkat dalam setiap jabatan” adalah hak asasi warga negara yang harus dilindungi. Hal ini tercantum pada Pasal 43 undang-undang tersebut. Pasal  a quo berbunyi:

  • Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
  • Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Ketentuan-ketentuan di atas mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada batasan yang tegas antara kedudukan dinasti politik dengan upaya pemenuhan hak konstitusional warga negara. Sehingga terdapat celah hukum yang dapat digunakan dan dimanipulasi oleh kepentingan tertentu untuk meraih keuntungan pribadi atau golongan.

Lebih lanjut, kendatipun secara tidak langsung permasalahan ini tidak melanggar konstitusi, namun Penulis berpendapat bahwa dinasti politik akan berseberangan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan moral dalam berpolitik. Patut kita pahami bahwa dampak dari menghalalkan dinasti politik sama saja dengan membuka pintu permasalahan-permasalahan baru bagi negara kita. Pemilihan kepala daerah seyogyanya bersandar pada prinsip-prinsip pemilihan yang bersih, menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, serta menempatkan kualitas kandidat sebagai pertimbangan pertama dibandingkan melihat keluarga siapa yang ada di belakangnya.

Pada akhirnya, demokrasi yang bersih akan bergantung kepada masyarakat Indonesia secara umum, dan khususnya masyarakat Sleman sebagai pemilih dalam pilkada tahun ini. Masyarakat yang akan menentukan layak/tidaknya seseorang untuk duduk di kursi pemerintahan. Sehingga menjadi penting bagi negara untuk memberikan pendidikan politik yang masif dan berkelanjutan untuk mencerdaskan serta meningkatkan rasionalitas masyarakat dalam memilih pemimpinnya. (*)

 

Tags

Terkini