kalimantan-timur

Itulah Hakim Progresif

Indra Zakaria
Senin, 18 Maret 2024 | 09:54 WIB

 

Belakangan ini masyarakat digemparkan dengan adanya kasus pembunuhan terhadap 1 keluarga di Penajam Paser Utara, yang lebih mencengangkan bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah anak dibawah umur berinisial J. Tidak hanya membunuh, pelaku juga memperkosa mayat tersebut.

Pelaku berhasil diringkus pihak kepolisian dan divonis hukuman 20 tahun penjara. Penjatuhan pidana tersebut menjadi menarik, sebab jika merujuk Pasal 81 ayat (6) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pelaku dibawah umur yang melakukan kejahatan berat dihukum maksimal 10 tahun penjara, artinya tidak boleh lebih daripada itu. Namun dalam kasus ini, majelis hakim cukup berani untuk mengambil tindakan progresif dengan memunculkan ultra petita yakni menjatuhkan pidana lebih dari tuntutan jaksa bahkan melampaui aturan undang-undang.

Apakah tindakan tersebut sah? Dari kacamata hukum, perbuatan tersebut boleh-boleh saja sebab hakim memiliki independensi dan kebebasan untuk memutus perkara. Tentu langkah ini diambil untuk menegakkan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban. Tetapi, putusan tersebut ditolak mentah-mentah oleh keluarga korban, mereka justru merasa keputusan tersebut tidak adil, mereka berharap korban dihukum mati dan mengklaim Undang-Undang Perlindungan Anak tidak lagi relevan! 

Sebagai pembelajar hukum, saya coba menganalisis sederhana pokok pertanyaan apakah undang-undang tersebut penghambat keadilan yang diharapkan masyarakat? yang pertama, perlu dipahami bahwa sejak awal pembentukan aturan yang memuat sanksi pidana bertujuan untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menyertai (dalam hal ini usia, concursus dan lain-lain), artinya, teks yang ada menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana supaya tercipta keadilan bagi korban dan pelaku.

Yang kedua, secara normatif pelaku yang membunuh 1 orang dengan pelaku yang membunuh 5 orang diancam dengan sanksi pidana yang sama, di Indonesia belum ada pengkategorian sanksi pidana berdasarkan jumlah korban yang ditimbulkan dalam kasus semacam ini. Contoh lain, mencuri sepeda motor dengan mencuri mobil diancam sanksi pidana yang sama. Apakah artinya ini pengingkaran terhadap nilai keadilan? Tidak demikian, karena yang dilihat berfokus pada perbuatan jahatnya bukan objek kejahatannya.

Bayangkan, jika sanksi pidana dibuat beragam untuk setiap objek kejahatan dalam jenis tindak pidana yang sama maka akan membuat prosesnya peradilan menjadi rumit, buku undang-undang akan menjadi sangat tebal (karena memuat rincian objek kejahatan disertai sanksinya) dan hakim sebatas pembaca isi teks undang-undang. 

Rasanya tidak tepat mengatakan undang-undang tersebut sebagai penghambat keadilan, karena logikanya jika keinginan korban yang dimasukkan dalam undang-undang, maka semua kejahatan akan berujung pidana mati. Karena korban pasti “membenci” pelaku kejahatan. Melainkan, nurani, kebijaksanaan dan keberanian hakim-lah yang menjadi eksekutor dalam situasi seperti ini. Hakim sejatinya tidak boleh terpaku pada teks belaka, tetapi ia harus mampu merasakan penderitaan korban dan penuh determinasi memperjuangkan keadilan, itulah Hakim Progresif. Hakim yang menempatkan manusia sebagai objek utama dalam penggalian hukum, bukan menempatkan teks aturan sebagai objek penemuan hukum. Dan yang menjatuhkan sanksi pidana dan ganti rugi berdasarkan dampak yang dirasakan korban & masyarakat. 

Bergeser ke sisi masyarakat, untuk mendorong terciptanya putusan yang adil masyarakat dapat melakukan upaya kolaborasi dengan penegak hukum dalam hal advokasi hukum, salah satunya dengan cara pengawasan lewat media sosial. Selama ini, teriakan netizen seringkali menjadi cara yang ampuh untuk membuat hakim menimbang ulang dalam menjatuhkan sanksi pidana, sampai muncul istilah no viral no justice dan KUHAV alias Kitab Undang-Undang Hukum Acara Viral (Plesetan dari KUHAP). Selain itu, jika di tingkat pertama pada akhirnya putusan tersebut tidak memuaskan, masyarakat dapat mendukung pengacara korban untuk mengajukan upaya hukum banding. Dengan demikian, untuk menyelesaikan problematika keadilan adalah kembali ke diri hakim itu sendiri yang ditopang oleh budaya hukum yang ada di masyarakat bukan permasalahan regulasi semata. (*)

 

Tags

Terkini