“Masih banyak masyarakat mampu. Lebih memilih beli yang subsidi dengan harga tinggi, daripada beli yang non-subsudi. Jadi (penjual) yang mematok harga elpiji subsidi tinggi di atas HET pun tetap laku. Karena pembeli juga golongan mampu. Dan ini juga menunjukkan kurang sadarnya masyarakat mampu untuk tidak menggunakan elpiji subsidi,” ujarnya.
Untuk bisa mengurai persoalan tersebut, Christofel menyebut per 1 Juni 2024, pemerintah menerapkan sistem NIK (nomor induk kependudukan) dalam pembelian elpiji 3 kilogram.
Di mana masyarakat yang mengisi NIK akan dimasukan ke dalam sistem yang sudah disiapkan pemerintah untuk menyaring mana yang berhak dan yang tidak berhak menggunakan elpiji subsidi.
“Itu sedang proses. Database siapa yang berhak ada di pusat. Misal yang berhak itu pasti yang pernah dapat bantuan sosial dari pemerintah. Jadi di sistem yang baru ini, kalau dia tidak ada dalam data yang berhak, otomatis nantinya tertolak. Sistem ini akan dijalankan di pangkalan. Aplikasi namanya MAP (merchant apps Pertamina),” ungkapnya.
Namun di sisi lain, Christofel juga menyinggung selain penyimpangan yang terjadi hingga mengakibatkan kelangkaan dan mahalnya harga elpiji subsidi. Menurutnya, ada hal yang krusial yang seharusnya bisa dilakukan segera oleh pemerintah. Yakni meningkatkan kuota elpiji subsidi ke Kaltim.
“Kami mendukung upaya untuk menekan penyimpangan yang dilakukan pemerintah daerah. Seperti penerapan kartu agar tepat sasaran. Namun sebenarnya, Pemerintah Pusat harus segera melihat dan fokus ke Kaltim. Sebagai gerbang IKN (Ibu Kota Nusantara), Kaltim sedang mengalami lonjakan penduduk,” jelasnya.
Dengan pertambahan penduduk khususnya di kota sekitar IKN seperti Samarinda dan Balikpapan, maka pusat menurutnya harus segera mengalihkan jatah subsidi elpiji dari pulau Jawa ke Kaltim. Karena dari informasi Hiswana Migas di Pulau Jawa, elpiji 3 kilogram sangat melimpah.
“Bahkan informasi Hiswana Migas di Jawa, di sana enggak laku. Sulit menjual elpiji 3 kilogram di sana. Jadi mohon pemerintah me-review kembali kuota barang subsidi untuk Kaltim,” ungkapnya.
Memang, ada penambahan kuota setiap tahunnya ke Kaltim. Namun menurutnya, kenaikan tersebut tidak sebanding dengan pergerakan masuk penduduk ke Kaltim. Sehingga baginya, satu-satunya jalan adalah melakukan evaluasi ulang terkait perhitungan kebutuhan kuota elpiji subsidi.
“Saya enggak paham apa pemerintah ini sibuk atau bagaimana, tetapi seharusnya mereka bantu. Jangan batasi jatah untuk Kaltim. Lebihkan atau ambil jatah dari daerah lain yang ‘kebanjiran’. Itu Jawa Barat misalnya, sampai jual murah pun enggak laku di sana sangking melimpahnya. Ini enggak sehat. Kaltim lebih butuh,” ujarnya. (*)