Di zaman sekarang, skincare seringkali diartikan sebagai rutinitas ribet layer toner, serum, essence, sheet mask, moisturizer, sampai SPF yang harus diulang setiap hari. Tapi jauh sebelum itu semua jadi tren, perempuan Indonesia sudah merawat kulitnya dengan cara-cara yang lebih sederhana dan bisa dibilang jauh lebih alami.
Dalam budaya Jawa misalnya, perempuan biasanya melakukan luluran secara rutin, terutama menjelang pernikahan.
Tradisi ini tidak hanya bertujuan untuk mempercantik kulit, tapi juga sebagai bentuh pembersihan lahir dan batin. Seperti yang dijelaskan dalam buku Budaya Jawa: Pengantar dan Studi Kasus oleh Endraswara (2006), cantik dalam pandagan tradisonal bukan hanya soal penampilan fisik, melainkan juga soal ketenangan pikiran dan kesiapan spiritual.
Baca Juga: Pentingnya Ilmu Parenting Sebagai Bekal Para Gen Z
Hal serupa juga ditemukan di Bali lewat praktik Boreh, yaitu baluran rempah-rempah hanyat yang dipercaya bisa menghangatkan tubuh dan menghaluskan kulit. Menurut Dr. Prawesti Wulansari dari Fakultas Farmasai UGM (2022), metode perawatan ini efektif karena memanfaatkan bahan alami yang sesuai dengan iklim tropis Indonesia, sehingga minim risiko iritasi dan lebih adaptif terhadap kulit masyarakat lokal.
Sebelum AHA dan BHA populer di dunia skincare, masyarakat kita sudah memakai lulur berbahan dasar beras, kunyit, dan kayu manis sebagai eksfoliator alami. Penelitian oleh Rahmawati dan Anggraini (2023) menunjukkan bahwa lulur berbahan kunyit beras memiliki efek antioksidan dan antinflamasi yang sangat bermanfaat untuk kulit sensitive dan kering. Ini membuktikan bahwa konsep glowing skin sebenarnya bukan hal bru, hanya saja dului caranya lebih organic dan terjangkau.
Selain itu, kegiatan lulur juga membetuk “me time” perempuan zaman dulu. Mereka melakukan sambil ngobrol santai atau sebagai ritual menjelang hari penting. Artinya, skincare dulu punya dimensi sosial dan emosional bukan cuman soal hasil.
Kalau sekarang kita mengenalnya suplemen kolagen dan vitamin E sebagai pendukung kecantikan dari dalam, dulu perempuan Indonesia sudah lebih dulu punya jamu. Minuman seperti kunyit, asam, beras kencur, atau temulawak dipercaya bisa membuat tubuh lebih segar dan kulit lebih cerah. Sebuah studi oleh Sari (2021) menyebut bahwasannya jamu kunyit asam mengandung antioksidan tinggi yang membantu regenerasi sel kulit sekaligus mengurangi perdagangan dari dalam tubuh.
Inilah mengapa perempuan zaman dulu tetap bisa tampil segar meskipun hidup tanpa SPF 50 dan AC. Perawatan dari dalam tubuh lewat makanan dan minuman sehat jadi fondasi utama.
Mandi bunga bukan cuman dilakukan saat alam jumat kliwon atau menjelang pernikahan. Di banyak daerah, tradisi ini adalah bentuk relaksasi dan penyegaran alami. Larasati (2020), dalam penelitiannya tentang ritual kecantikan tradisional, menyebut bahwa bunga seperti mawar, melati, dan pandan memiliki efek aromaterapi alami yang bisa menurunkan stres dan menjaga mood tetap positif. Ini mirip dengan tren modern seperti bath bomb, diffuser, dan essential oil bedanya, mereka melakukannya langsung dengan bahan segar.
Lucunya, tren skincare sekarang justru kembali ke bahan-bahan lama masker kunyit, face oil kelapa, hingga scrub beras. Banyak brand global kini berlomba menciptakan produk berbahan herbal alami, sesuatu yang sebenarnya sudah digunakan nenek-nenek kita sejak lama. Artinya, solusi kecantikan yang kita cari-cari sebenarnya tidak pernah jauh bahkan mungkin sudah ada di dapur rumah.
Warisan ini layak diapresiasi, bukan hanya karena efektif dan alami, tapi juga karena mengandung filosofi: bahwa merawat diri bukan soal mengikuti standar kecantikan luar, tapi menemukan keseimbangan dalam diri. (Arsandha Agadistria Putri)