• Minggu, 21 Desember 2025

Kaya Raya, Minim Empati? Riset Psikologi Ungkap Korelasi Status Ekonomi Tinggi dengan Sikap Tidak Etis dan Kurangnya Kepedulian

Photo Author
- Kamis, 27 November 2025 | 10:15 WIB
Ilustrasi uang
Ilustrasi uang

PROKAL.CO- Sebuah analisis psikologi modern kembali menyoroti fenomena kesenjangan empati antara kelompok kaya raya atau pejabat berstatus ekonomi tinggi dengan masyarakat menengah ke bawah. Dalam konteks kebijakan publik, pejabat yang mengeluarkan pernyataan yang seolah menyalahkan masyarakat miskin atas kegagalan mereka (misalnya, menyuruh pencari kerja membuka usaha tanpa mempertimbangkan modal) dinilai sebagai bukti minimnya empati.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Dacher Keltner, Profesor Psikologi dari University of California, Berkeley, yang dikutip dari Instagram @diajengtirto. Keltner mengemukakan bahwa "makin kaya pejabat, maka semakin kecil kepeduliannya pada kebijakan pro-rakyat."

Padahal, empati di level pembuatan kebijakan sangat krusial dan berpotensi mengubah hidup masyarakat secara signifikan.

Pengendara Mobil Mewah Cenderung Kurang Etis di Jalan
Studi ini diperkuat oleh eksperimen sosial yang dilakukan oleh Paul Piff, Guru Besar Psikologi dari UC Irvine. Piff menemukan konsistensi dalam perilaku orang-orang berstatus ekonomi tinggi.

Dalam salah satu eksperimennya, Piff mengamati bahwa: "Pengendara mobil mewah memiliki persentase lebih rendah untuk menghentikan kendaraannya demi keamanan pejalan kaki yang menyeberang jalan, dibanding mereka yang mengemudikan kendaraan sederhana."

Sebagaimana dipertegas dalam artikel The Atlantic, observasi Piff menunjukkan bahwa kelompok ekonomi tinggi cenderung merasa berhak atas sesuatu bahkan jika harus melakukan tindakan yang dianggap tidak etis.

Kelas Menengah Bawah Justru Paling Dermawan
Secara logika, menyumbangkan kekayaan harusnya lebih mudah dilakukan oleh orang berduit. Namun, asumsi ini dibantah oleh Keltner.

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah dan menengahlah yang paling banyak berbagi. Walau riset ini tidak mengukur dari besaran uang, tetapi dari perbandingan persentase kekayaan yang dimiliki tiap kelompok.

Intinya, jika orang kaya menyumbang 1% dari hartanya, masyarakat kelas di bawahnya bisa menyumbang lebih besar dari persentase harta yang mereka miliki. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, menjalin koneksi dengan sesama adalah cara untuk bertahan hidup, salah satunya melalui sikap saling mengasihi dan peduli.

Fenomena ini menjadi masalah serius karena orang-orang dengan sumber kapital besar inilah yang sering mendominasi posisi pembuat kebijakan publik, seperti pejabat dan anggota parlemen.

Realitas ini tercermin dari banyaknya pernyataan pejabat yang dinilai tidak memiliki empati terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa lembaga di Singapura telah mengadakan workshop empati. Salah satunya program dari organisasi nirlaba Daughter of Tommorow (DOT). Dalam program ini, peserta diminta merasakan hidup keluarga underprivilege dengan beban tagihan yang menumpuk.

Haanee Tyebally dari DOT menekankan, simulasi tukar peran ini memberikan gambaran nyata betapa sulitnya mengambil keputusan di tengah tekanan finansial dan membantu kelompok borjuis ini merasakan kondisi keuangan yang terbatas. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X