SAMARINDA- Wajib lulus psikotes "embel-embel" baru yang dilegalkan untuk menarik keuntungan dari murid dan siswa baru di sekolah dasar (SD) serta sekolah menengah pertama (SMP) menjadi masalah baru yang muncul di awal sekolah. Masalah muncul lantaran biaya psikotes sebesar Rp150 ribu sampai dengan Rp300 ribu yang wajib dibayar itu dibebankan kepada orangtua/wali siswa.
Alih-alih membantu sekolah untuk mengidentifikasi potensi, bakat, dan minat siswa, serta memberikan gambaran tentang kepribadian dan gaya belajar anak. Biaya besar untuk sekali tes psikotes itu justru "mencekik" orangtua.
Rasanya tak adil jika hanya karena psikotes seorang anak dinilai tak bisa berkembang, karena prilaku anak yang meliputi penilaian psikotes sejatinya lebih banyak diketahui orangtua.
Dalam kasus tertentu psikotes memang diperlukan oleh sekolah agar bisa mengelompokkan siswa berdasarkan minat dan bakat mereka, serta untuk menyusun program pembelajaran yang lebih efektif.
Namun apakah pihak sekolah mau di berikan pekerjaan ekstra dalam pengelompokkan tersebut, simak kata Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim berikut ini. Dalam hal pengelompokkan siswa, seorang guru harus bisa menempatkan diri untuk memberikan pendekatan pembelajaran yang lebih personal. Misalnya, siswa dengan gaya belajar visual harus mendapatkan manfaat dari penggunaan diagram, video, dan materi visual lainnya.
"Siswa dengan gaya belajar auditori lebih responsif terhadap ceramah, diskusi, dan rekaman audio. Serta siswa dengan gaya belajar kinestetik lebih tertarik pada pembelajaran langsung, eksperimen, dan aktivitas fisik. Sehingga masing-masing perlu pendekatan yang lebih komplek sesuai dengan gaya belajarnya," kata Ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun.
Dalam kasus lain hasil psikotes juga dapat digunakan ortangtua untuk mendukung perkembangan anak serta untuk membantu mereka memilih sekolah atau program pendidikan yang tepat.
"Tapi apakah setelah orang tua mengetahui bakat minat gaya belajar anak maka orangtua akan memahami dan membimbing anaknya di rumah, tentunya tidak. Apalagi tak banyak orangtua perduli dengan bakat anak," ujarnya.
Rina mengingatkan bahwa hasil psikotes bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan. Karena faktor lain seperti motivasi, lingkungan belajar, dan dukungan orangtua serta guru berperan penting dalam perkembangan siswa.
"Karena itu penting atau tidak pentingnya psikotes dilakukan tergantung kebutuhan masing-masing pihak. Kalau orangtua merasa perlu untuk perkembangan anaknya berarti psikotes penting bagi mereka dan bisa dilakukan. Sebaliknya bila orangtua menganggap itu (psikotes, Red) tidak perlu ditambah terkendala ekonomi, maka hal itu bukan sesuatu yang urgensi untuk anak lakukan," pungkasnya. (oke/nha)