SAMARINDA- Gedung baru Pasar Pagi Samarinda yang berdiri gagah hingga tujuh lantai telah menjadi simbol revitalisasi besar pasar rakyat di ibu kota Kalimantan Timur. Namun, di balik kemegahan tersebut, proses relokasi menimbulkan polemik dan kecemasan di kalangan pedagang, khususnya terkait kriteria penerima hak lapak.
Sosialisasi yang digelar Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Samarinda pada Jumat lalu disambut baik sekaligus penuh kehati-hatian. Ketua Forum Pedagang Pasar Pagi, Thoriq Hakim, mengapresiasi langkah Pemkot namun menyoroti isu krusial mengenai Surat Keterangan Tempat Usaha Berjualan (SKTUB).
Thoriq menegaskan bahwa hak untuk menempati pasar baru hanya diperuntukkan bagi pedagang aktif. “Kalau cuma punya SKTUB tapi sudah puluhan tahun tidak jualan, tidak bisa lagi berlindung di balik surat itu,” tegas Thoriq, yang sehari-hari berdagang konveksi.
SKTUB Lama Dinyatakan Tidak Aktif
Menurut Thoriq, banyak pemegang SKTUB yang telah lama tidak berjualan di Pasar Pagi. Sebagian bahkan menyewakan atau menjual hak pakainya kepada pihak lain. Kondisi inilah yang kini disisir ketat oleh Disdag. Pedagang aktif menjadi prioritas utama, sementara pemilik SKTUB yang tidak tercatat berdagang sejak lama tidak akan diakui sebagai penerima hak lapak.
“Ada SKTUB yang dipegang sejak sebelum tahun 2000, tapi orangnya sudah tidak berdagang sampai 2025. Itu dianggap tidak aktif,” ungkapnya. Sebagai pimpinan forum, Thoriq mendukung langkah penertiban ini, asalkan proses verifikasi dilakukan secara terbuka dan adil untuk mencegah adanya permainan di belakang layar. Disdag juga menekankan penghapusan praktik jual-beli dan sewa petak.
Kekhawatiran Penataan Kluster dan Kepastian Pengundian
Terkait operasional pasar, Thoriq menjelaskan bahwa setiap toko akan menggunakan meteran listrik sendiri, sementara biaya operasional umum seperti penerangan, eskalator, dan lift akan ditanggung dari retribusi.
Meskipun demikian, muncul keberatan dari beberapa pedagang terkait rencana penataan kluster dagangan yang dianggap berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat. “Pedagang minta agar jenis dagangan jangan disatukan di satu blok. Kalau semua jualan barang sama, harga bisa saling banting,” katanya.
Sementara itu, Bhayah, salah satu pedagang makanan, masih menanti kepastian pengundian lapak. Ia dan keluarganya yang merupakan pedagang turun-temurun sejak kakeknya, memiliki beberapa SKTUB yang sebagian belum sempat dibalik nama karena proses pembangunan pasar.
"Dua toko punya sendiri, dua lagi nyewa. Yang punya sendiri itu sudah ada SKTUB-nya. Cuma belum dibalik nama karena waktu mau urus, pasarnya ditutup,” ujar Bhayah.
Setelah pasar lama dibongkar akhir 2023, Bhayah dan pedagang lain harus pindah sementara ke Segiri Grosir Samarinda (SGS), di mana penghasilan mereka menurun drastis. “Sekarang jualan di SGS paling dapat dua ratus lebih. Habisnya untuk makan sehari-hari. Harapannya cepat buka Pasar Pagi baru biar bisa jualan normal lagi,” harapnya.
Berdasarkan informasi yang beredar, proses pencabutan nomor lapak kemungkinan akan dilakukan pada November, dengan perpindahan fisik ke gedung baru diperkirakan menyusul pada Desember mendatang. (*)