SAMARINDA – Keputusan Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, menunjuk dua akademisi yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai anggota Dewan Pengawas (Dewas) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AW Sjahranie Samarinda dan RSUD Kanudjoso Jati Wibowo Balikpapan, menuai polemik dan kritik tajam dari publik lokal.
Penunjukan dua nama dari luar daerah—Dr. Syahrir A. Pasiringi dan Dr. Fridawaty Rivai—yang tertuang dalam SK Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K/94/2025 itu dinilai mencederai rasa keadilan dan mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) yang ada di Kaltim.
Pengamat media sosial yang juga mantan juru bicara tim pemenangan Rudy–Seno, Sudarno, mempertanyakan objektivitas proses seleksi. “Ini jadi pertanyaan besar buat kita. Bagaimana bisa mengawasi kalau orangnya tidak tinggal di Kaltim. Seolah-olah warga Kaltim ini tidak punya kemampuan,” kata Sudarno.
Ia menegaskan, masih banyak profesional dan akademisi di kampus-kampus ternama Kaltim yang layak mengisi posisi strategis Dewas. Sudarno juga menyoroti dugaan kedekatan figur yang ditunjuk dengan lingkaran keluarga Gubernur.
“Memang mereka dosen dari adik Gubernur, tapi tidak bisa begitu. Kita harus beri kesempatan kepada akademisi lokal,” tambahnya, sembari menyayangkan uang honorarium Dewas akan beredar di luar daerah.
Kritik dari Pakar Kesehatan Soal Regulasi
Kritik juga datang dari kalangan akademisi kesehatan. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman (Unmul), Dr. Iwan Muhammad Ramdan, S.Kp., M.Kes., menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang mengatur Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Menurut Iwan, pengangkatan Dewas harus melalui tahapan sesuai Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tentang BLUD dan PP Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahsakitan. Ia juga mempertanyakan peran Kepala Dinas Kesehatan dalam pengajuan calon Dewas.
“Pengajuan calon Dewas seharusnya dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan selaku pimpinan perangkat daerah, bukan oleh rumah sakit secara langsung,” jelas Iwan.
Lebih lanjut, Iwan mempertanyakan alasan penunjukan figur yang tidak memahami konteks dan masalah kesehatan lokal untuk jabatan strategis yang melayani lebih dari satu rumah sakit daerah.
“Dewas seharusnya memahami konteks dan masalah kesehatan lokal. Kenapa bukan putra daerah yang dipilih?” tegasnya. Ia berharap proses pengangkatan Dewas di Kaltim dapat menjadi contoh tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan.(*)