balikpapan

Hasil Studi Sebut Wilayah Utara Balikpapan Paling Nyaman Ditinggali, Bagaimana dengan Wilayah Lain?

Selasa, 29 Juli 2025 | 12:30 WIB
Salah satu sudut kota Balikpapan.

BALIKPAPAN — Sebuah studi berbasis survei dengan pendekatan partisipatif yang dilakukan oleh Saiful Ghozi dan tim peneliti dari Politeknik Balikpapan dan sejumlah institusi akademik lainnya, mengungkap tingkat kelayakhunian (liveability) di berbagai wilayah di Kota Balikpapan. Hasilnya menunjukkan ketimpangan persepsi kenyamanan hidup antara wilayah utara dan timur kota, serta menyoroti sejumlah persoalan krusial yang masih menjadi keluhan utama warga.

Studi berjudul An Analysis of the Perceived Liveability Index with the Use of Adjusted and Weighted Aspects Based on a Multi-Stakeholder Perspective in the Indonesian City of Balikpapan ini tidak hanya memetakan persepsi warga tentang kualitas hidup, tetapi juga menyusun indeks kelayakhunian berdasarkan bobot dari delapan aspek utama. Bobot ditentukan lewat metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan melibatkan perwakilan dari DPRD, BAPPEDA, TNI/Polri, BUMD, hingga akademisi.

Baca Juga: Pemkot Balikpapan Diminta Waspada Penyebaran LGBT, Minta Pengawasan Lebih Ketat

"Akses terhadap kebutuhan dasar menjadi aspek dengan bobot tertinggi dalam indeks ini. Artinya, warga paling menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan esensial sehari-hari seperti air bersih, listrik, dan pelayanan kesehatan," jelas Ghozi, peneliti utama.

Survei dilakukan terhadap 1.256 responden yang mewakili 34 kelurahan di seluruh Balikpapan. Responden dipilih secara proporsional dan diverifikasi melalui geotag, durasi pengisian kuesioner, serta bukti foto lapangan. Dengan indeks liveability total sebesar 78,48, kota ini dinilai cukup nyaman ditinggali. Namun, jika dilihat lebih rinci, terdapat perbedaan mencolok antar wilayah.

Wilayah timur Balikpapan, yang didominasi oleh aktivitas industri seperti di Kawasan Industri Batakan, mencatat indeks liveability terendah yaitu 70,69. Sebaliknya, wilayah utara yang berdekatan dengan ruang terbuka hijau mencatat nilai tertinggi yakni 91,75.

“Wilayah industri ternyata tidak otomatis membuat hidup lebih layak. Justru wilayah utara yang lebih sejuk dan bersih dianggap lebih nyaman untuk dihuni,” ujar Ghozi. Temuan ini, menurutnya, penting untuk diperhatikan oleh perencana kota agar tidak terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kualitas hidup warga.

Penelitian ini juga menelusuri jawaban terbuka dari warga soal apa yang membuat mereka betah tinggal di Balikpapan. Kata “bersih” dan “aman” paling sering disebut. Namun, dua masalah utama yang paling banyak dikeluhkan adalah banjir dan kualitas jalan yang buruk, khususnya di wilayah timur.

“Drainase di daerah timur dinilai sangat tidak memadai, apalagi dengan kontur kota yang bergelombang dan banyak cekungan,” kata Ghozi. Ia menambahkan bahwa urbanisasi yang tidak disertai mitigasi risiko lingkungan justru dapat menurunkan persepsi kenyamanan warga.

Selain itu, pandemi COVID-19 juga memberi dampak besar terhadap persepsi kualitas hidup. Kata “ekonomi” dan “pekerjaan” menjadi respons dominan saat warga ditanya tentang dampak pandemi. Banyak yang mengalami keterbatasan aktivitas, penurunan pendapatan, hingga kehilangan pekerjaan.

“Pandemi memperlihatkan sisi rentan dari kota ini, terutama pada aspek sosial dan ekonomi. Ini menjadi catatan penting bagi kebijakan pemulihan yang lebih berpihak pada warga rentan,” tambah Ghozi.

Studi ini tidak luput dari keterbatasan. Salah satunya adalah kemungkinan bias akibat kelelahan responden karena panjangnya kuesioner, serta distribusi responden yang belum sepenuhnya ideal untuk wilayah dengan kepadatan rendah.

Meski demikian, pendekatan kombinasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan dalam studi ini menghasilkan data primer yang sangat kaya. Hasilnya membuka ruang refleksi bagi pemerintah kota maupun pembuat kebijakan nasional, terutama menjelang perpindahan ibu kota negara yang jaraknya hanya sekitar 70 kilometer dari Balikpapan. 

“Balikpapan akan menjadi gerbang utama menuju ibu kota baru. Maka penting bagi pemerintah daerah untuk tidak hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada kesejahteraan warganya,” pungkas Ghozi. (*)

Halaman:

Terkini