Menjamurnya pabrik kelapa sawit tanpa kebun atau biasa dikenal dengan pabrik kelapa sawit berondolan dalam mengolah tandan buah segar (TBS) petani di daerah-daerah kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan. Mulai deforestasi, konflik sosial, pelanggaran hukum dan tidak jarang berujung kepada pencurian buah secara masif.
PENAJAM - Analis Kelapa Sawit Berkelanjutan Edi Suhardi mengatakan, konflik sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun bersumber dari kurangnya kerangka regulasi yang bijaksana dalam tata kelola dan mitigasi dampak sosial dan lingkungan dari PKS.
Secara normatif, perizinan PKS di sektor perkebunan kelapa sawit masih didasarkan pada aturan Permentan No 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dalam Pasal 7, izin usaha perkebunan terdiri dari IUP-B untuk budi daya kelapa sawit saja, IUP-P untuk pabrik kelapa sawit saja, dan IUP untuk budi daya dan pabrik kelapa sawit secara terpadu.
Baca Juga: Laba Bersih Bank Ini Terus Tumbuh Positif di Kuartal I-2024, Meningkat dari Posisi Tutup Tahun 2023
Meskipun prosedur untuk mendapatkan izin pabrik (IUP-P) harus dilakukan secara berjenjang di setiap tingkat pemerintahan dan dilengkapi dengan studi kelayakan teknis dan persyaratan yang sesuai. Namun, kata dia, dalam lingkungan tata kelola saat ini seringkali pabrik tanpa kebun didirikan dan beroperasi dengan izin yang diperoleh dengan cara yang meragukan. Ini menimbulkan banyak pertanyaan? Pabrik tanpa kebun menyebabkan deforestasi dan kerentanan terhadap pencurian.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, kapasitas pengolahan terpasang pabrik kelapa sawit yang mengelola TBS dari hasil panen perkebunan kelapa sawit disesuaikan dengan pasokan TBS dari perkebunannya. Sebagai contoh, sebuah pabrik dengan kapasitas terpasang 30 ton per jam setara dengan hasil panen TBS dari sekitar 3.000 hektare perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu, pabrik tanpa perkebunan hanya dapat didirikan dan izinnya dapat diberikan asalkan telah menandatangani perjanjian kerja sama atau kemitraan dengan pemasok atau produsen TBS, seperti petani kecil, koperasi, atau perkebunan kelapa sawit kecil di sekitar pabrik untuk mengamankan pasokan yang memadai ke pabrik.
Kapasitas terpasang pabrik tidak boleh melebihi tingkat basis pasokan yang dapat dijamin secara berkelanjutan. Kegagalan untuk mematuhi prinsip ini hanya akan menyebabkan pencurian tanaman dan dampak yang tidak diinginkan lainnya.
Selain itu, lokasi pabrik tanpa kebun harus diatur dengan jarak yang tidak terlalu dekat dengan pabrik yang memiliki kebun untuk menghindari persaingan yang tidak produktif. Namun, sering kali terjadi pada pabrik tanpa kebun, karena kurangnya pasokan bahan baku yang stabil dan berkelanjutan, pabrik tersebut mendorong pihak-pihak oportunis yang melihat peluang pasar TBS untuk membuka lahan untuk penanaman baru atau menjarah perkebunan yang ada di sekitar wilayah operasi pabrik. Ini berakibat pada penggundulan hutan dan munculnya kerentanan pencurian TBS.
Dikatakannya, pabrik tanpa kebun mulai mengancam pabrik kelapa sawit yang memiliki kebun dengan memprovokasi pencurian tanaman secara besar-besaran di perkebunan sekitar. Pabrik tanpa kebun sering kali dibangun tanpa studi yang memadai, yang juga memicu praktik persaingan yang tidak sehat dalam penetapan harga dan perdagangan TBS.