DRAF revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) masih belum tuntas dibahas pemerintah. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kembali menargetkan, pertengahan Februari ini, surat presiden (surpres) terbit.
Sebelumnya pada Desember 2022, Staf Ahli Hubungan Kelembagaan Bappenas sekaligus Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Hukum dan Kelembagaan Pemindahan IKN Kementerian PPN/Bappenas Diani Sadiawati menyampaikan, penyerahan surpres RUU IKN akan disampaikan pemerintah ke DPR pertengahan Januari 2023.
Namun, hingga waktu yang dilewati, tak kunjung dilaksanakan. Sementara itu, pada 20 Januari lalu, saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang digelar di Hotel Novotel Balikpapan, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa menjanjikan, surpres RUU IKN akan disampaikan akhir Januari 2023. Diani Sadiawati yang juga Juru Bicara Pembahasan Revisi UU IKN ketika itu menerangkan, pembahasan draf dan naskah akademik perubahan UU IKN memang mengalami keterlambatan. Karena usulan revisi UU IKN baru dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 pada November 2022. Kemudian pembahasannya sempat terpotong masa libur panjang akhir tahun.
Sehingga baru dilanjutkan lagi pada awal tahun. Bahkan kegiatan konsultasi publik yang menjadi syarat revisi UU IKN, baru dilaksanakan dua kali. Konsultasi publik pertama dilaksanakan pada 19 Desember 2022 di Hotel Bluesky Balikpapan. Adapun konsultasi publik kedua baru dilaksanakan pada Senin (6/2) lalu, di Hotel Novotel Balikpapan. “Targetnya supres bisa keluar dan disampaikan presiden ke DPR RI. Karena kita berkejaran, tahun 2024 tinggal sebentar lagi,” katanya usai konsultasi publik pokok-pokok perubahan UU IKN di Hotel Novotel Balikpapan.
Dalam konsultasi publik kedua itu, kembali disampaikan mengenai penguatan Otorita IKN sebagai lembaga pusat setingkat kementerian dan pemerintah daerah khusus (pemdasus) yang bersifat hybrid. Otorita IKN membutuhkan penguatan kedudukan, tugas, fungsi, peran dan kewenangan dengan kewenangan khusus. Di mana seluruh urusan pemerintahan pusat, kecuali urusan absolut dan urusan pemerintahan daerah. Selain itu, membutuhkan pengaturan lex spesialis terhadap UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Khusus jabatan pimpinan tinggi pratama yang sebelumnya wajib diisi oleh kalangan PNS, menjadi dapat diisi dari kalangan non-PNS. Dengan tujuan, agar Otorita IKN bisa menjadi lebih fleksibel, lincah, profesional, dan menampung potensi-potensi terbaik bangsa. Kalangan profesional yang berpengalaman diharapkan dapat mengisi jabatan setara dengan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama, juga sampai ke bawah. “Ini kan masih berproses. Dan kami usulkan dalam revisi RUU IKN,” katanya.
Usulan lainnya mengenai perubahan atau penambahan delineasi wilayah IKN. Kemudian mengenai penataan ulang tanah. Dalam konsultasi publik pertama, sempat disampaikan bahwa hak guna usaha (HGU) di atas hak pengelolaan Otorita IKN adalah kurang lebih 95 tahun. Sementara itu, perpanjangan jangka waktu HGU dan HGB dilakukan dengan evaluasi terlebih dahulu dan peruntukannya harus sesuai dengan rencana penataan ruangnya. Hal lainnya adalah sistem pengelolaan keuangan IKN yang bersifat lex specialis derogat lex generalis dan genus commune genus vincit atau aturan umum yang khusus mengesampingkan aturan umum yang umum. Hal ini berimplikasi pada sifat pengelolaan keuangan Otorita IKN seharusnya berbeda dengan pengelolaan keuangan negara bagi kementerian/lembaga dan/atau pemerintah daerah pada umumnya.
Karena pengelolaan anggaran dan barang Otorita IKN tidak sepenuhnya diatur sebagaimana kementerian/lembaga pada umumnya. Dalam hal ini, kedudukan Otorita IKN sebagai pengguna anggaran untuk pendapatan aslinya dan sebagai pengguna barang, terkait lahan yang bukan barang milik negara (BMN). Sementara itu, sebagai pemdasus, Otorita IKN memiliki kewenangan sebagaimana pemerintahan daerah pada umumnya. Sebagai pengelola anggaran terkait pendapatan aslinya, pengelola aset yang menjadi miliknya, hingga mengatur ketentuan perubahan aset dalam penguasaan (ADP) menjadi Barang Milik Otorita, serta penyertaan modal pada usaha miliknya yang berbentuk Badan Usaha Milik Otorita (BUMO).
Di forum yang sama, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi menegaskan, bahwa keberadaan UU IKN tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). “Saya orang Kemendagri. Tapi undang-undang saya (UU Pemda), enggak dipakai. Catat itu ya,” kata mantan direktur kawasan, perkotaan dan batas negara (Waskoban) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini.
Dia menerangkan alasannya. Apabila UU Pemda digunakan, maka UU IKN tidak akan kunjung disahkan. Lantaran yang akan terjadi adalah kontestasi antar-rezim pemerintah. Baik antar-kementerian dan lembaga maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Enggak jadi ini IKN. Ini kewenangan saya, ini kewenangan Anda. Enggak boleh ini. Dan lain sebagainya. Presiden sudah tahu itu,” tegas Thomas. Oleh karenanya, karena presiden ingin Otorita IKN bekerja secara cepat, maka perlu ada perubahan cara kerja dan perubahan cara berpikir. Sehingga, Otorita IKN menurutnya bukan hanya lex specialis, tapi super lex specialis. Karena memiliki kewenangan yang extraordinary.
“Saya dulu direktur (Waskoban Kemendagri). Termasuk mengurus terkait dengan desentralisasi asimetris, baik Papua, Aceh, dan DKI Jakarta. Tetapi, saya mengatakan, Otorita IKN jangan disamakan dengan Otorita Batam. Dan tidak merujuk pada UU Pemda,” pungkasnya. (riz/k15/kpg/udi)