RAMAI warga memadati tepian Segah di Jalan Ahmad Yani. Semua memasang kamera telepon genggamnya. Merekam peristiwa yang terjadi di seberang sungai, di Gunung Tabur.
Terlihat asap hitam membumbung ke udara. Sebanyak 6 rumah warga terbakar. Lokasinya tak jauh dari Museum Batiwakkal. Kejadian seperti inilah yang sangat dikhawatirkan, di tengah-tengah cuaca panas.
Peristiwa ini jadi tema pembicaraan pengunjung warung pojok. Maklum, banyak di antara pelanggan yang juga bertempat tinggal di Gunung Tabur. Saya hanya sebentar. Tidak ikut mendengar cerita sekitar peristiwa kebakaran itu.
Saya tiba-tiba rindu dengan rumah makannya Bu Basri. Lama sekali tidak pernah menikmati bubur ayamnya. Setelah menghabiskan segelas teh susu di warung pojok, saya meluncur ke Jalan Murjani. Sudah tidak masuk hitungan pagi. Tak apalah, yang penting terobati bisa menikmati bubur ayam.
Banyak perubahan setelah sekian lama tak pernah berkunjung. Kalau dulu, yang jadi menu andalan hanya bubur ayam, rawon, dan soto. Ada tambahan menu yang ditawarkan. Bu Basri menambah sup tulang dan soto Lamongan.
Karena niatnya makan bubur ayam. Ya, yang dipesan bubur ayam. Sempat tergoda sup tulang. Kalau soto Lamongan, saya sudah sering menikmati. Kebetulan, di dekat rumah ada warung makan asal Lamongan, jualan soto Lamongan. Tak diragukan rasanya. Tunggu dulu, sapa tahu bu Basri yang asli Berau itu, sudah lulus kursus membuat soto Lamongan. Boleh saja kan.
Rupanya Pak Datu Amir, Sultan Sambaliung sudah lebih dulu di warung itu. Duduk di meja nomor 4. Bersama istri, menantu, dan satu orang pengawalnya. Lagi-lagi ikut tergoda, melihat sultan asyik menikimati sup tulang. “Nggak sempat sarapan, Pak Sikra,” kata Pak Datu.
Ia berencana ke rumah sakit membesuk cucunya yang sedang dirawat. “Pak Sikra makan apa?” kata Pak Datu. Mau rasanya menjawab seperti yang disantap Pak Datu. Tapi niatnya ke warung Bu Basri, mau menikmati bubur ayam. “Saya pesan bubur ayam saja, Pak Datu,” kata saya.
Kami berceritalah banyak hal. Istri sultan, menantu, dan pengawalnya, tidak ikut sarapan. Saya tidak menanyakan, bagaimana kesibukan warga menyeberang sungai dengan perahu. “Istri saya itu, harus dikawal kalau turun dari perahu ketinting,” kata Pak Datu. “Tidak tahu teorinya, bagaimana naik dan turun dari perahu,” kata Pak Datu sambil tertawa.
Memang terlihat mudah. Tapi, bila tak memahami bagaimana caranya turun dari perahu dan menginjakkan kaki di dermaga, bisa-bisa jatuh ke sungai. Kaki satu di dermaga, satunya lagi masih di perahu. Bisa dibayangkan sendiri. “Taberangkang,” kata sang pengawal.
Sayapun iseng saja menanyakan, andai saja tidak dilakukan ritual adat sebelum dimulainya pengerjaan jembatan. Sebelum Pak Datu menjawab, belasan detik tatapan Pak Datu ke arah saya cukup tajam. “Saya memang meminta, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,” kata Pak Datu.
Warga Sambaliung hafal dan tahu cerita mistis yang ada di sekitar kawasan jembatan itu. Dan, sebagai sultan, ia bisa berkomunikasi dengan penghuni (ia menyebut penjaga) kawasan jembatan. “Bisa aku memanggil untuk datang, dan berdialog,” kata Pak Datu.
Alhamdulillah, kata Sultan, sampai hari ini semua berjalan lancar. Baik yang dari arah Sambaliung maupun dari Tanjung Redeb. “Semoga hingga selesainya perbaikan jembatan, semua berjalan sesuai rencana,” kata Pak Datu.
Bubur ayam Bu Basri, salah satu tempat makan yang direkomendasikan banyak orang. Tempatnya mudah dijangkau. Di tepi jalan protokol. Berdekatan dengan kantor bupati dan kantor dinas. Dari rumah saya, jauh-jauh dikit. @cds_daengsikra. (*/udi)