HAMPIR ditutupi lawang. Kenapa juga datang kesiangan. Biasanya, pagi-pagi sudah hadir di meja dekat pintu.
Dua hari ini, kondisi udara tak nyaman. Mendung seharian sejak kemarin. Gara-gara cuaca itu pula, terlambat hadir di warung pojok. Dari rumah, saya tiba-tiba ingin menikmati mi. Ini pasti nyaman di kondisi udara seperti kemarin.
Mi kuah, ping, kata saya. Ping itu singkatan nama penjualnya Aping. Habis Pak Daeng, jawabnya dengan suara lembut. Apa saya harus pindah ke Hokky, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari warung pojok. Sama-sama di Jalan Niaga.
Baru berdiri, bermaksud meninggalkan warung, Pak Sakirman datang bersama temannya. Dia berencana menemui konstituennya di Kampung Tabalar Muara, Kecamatan Tabalar. Biasa, agar komunikasi terus terbangun.
Karena mobil yang akan ditumpangi antre di penyeberangan, terpaksa Ia ke warung pojok dulu. Diperlukan kesabaran yang tinggi, saat akan menyeberang menggunakan jasa LCT. Muatannya tidak banyak. Sabar aee, kata Sakirman yang anggota DPRD itu. Ya, sabar menanti giliran.
Ia pun mengomentari, saat sekarang Jembatan Sambaliung dalam proses pengecoran. Kalau bulan depan sudah selesai, termasuk selesai pengaspalan, setidaknya kendaraan roda dua sudah bisa digunakan. Sudah bisa menyeberang dengan catatan, tetap harus diatur, tambahnya.
Ada yang menarik, yang kami diskusikan berdua. Soal kendaraan roda dua yang jumlahnya ribuan, yang diparkir leluasa di tepi jalan maupun di halaman perpustakaan atau Taman Sanggam. Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar ada yang kehilangan kendaraan, kata Sakirman.
Itu jadi pertanda baik. Walaupun sempat ada laporan kehilangan, usut punya usut, ternyata ada pemilik kendaraan yang salah ambil. Maklum, dari ribuan kendaraan itu, banyak yang serupa dan sama. Kuncinya pun sama-sama merasuk. Padahal tidak ada penjaga khusus kendaraan roda dua.
Di terminal wisata, hari Selasa (4/7), kemarin, menjelang sore hari, jumlah penumpang lumayan banyak. Antrean penumpang yang ingin mendapat layanan gratis dan berbayar, kumpul di dermaga.
Kami memilih yang gratis, walau antre, kata salah seorang penumpang. Maklum, sekali menyeberang mereka bertiga. Kalau ikut angkutan berbayar, harus mengeluarkan Rp 15 ribu sekali penyeberangan. Kalau tiap hari, lumayan juga pengeluaran.
Mas Rozy yang wartawan, tinggalnya di Sambaliung. Beruntung saya punya dua motor Daeng, kata Rozy. Itu komentarnya, saat saya bertemu di dermaga penyeberangan. Ia bersama istri dan anaknya.
Satu kendaraan disimpan di dermaga penyeberangan di Sambaliung. Satunya lagi, diparkir di sekitar dermaga wisata. Rumahnya di Sambaliung, sedikit berjauhan dengan dermaga. Jadi butuh angkutan motor. Di Tanjung Redeb, hanya untuk ke kantor saja.
Sementara speedboat yang biasa wara-wiri seharian, kemarin itu, jadwalnya istirahat. Kami besok baru bertugas lagi, kata salah seorang kru perahu cepat. Kalau tiap hari bertugas, rakai juga awak, tambahnya sambil tertawa.
Setelah sekian lama menjalani penyeberangan dengan angkutan sungai. Warga akhirnya mulai terbiasa. Hampir tak ada lagi keluhan yang terlontar dibanding di pekan pertama ditutupnya Jembatan Sambaliung. Yang diperlukan sekarang, tinggallah kesabaran dan saling pengertian saja. (*/sam) @cds_daengsikra